ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA BIROKRASI SATRIYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Manajemen
Strategi
Oleh:
Eva Ilfiyah
Ikhtiarini (192020100041)
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU
SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
MEI 2022
PENDAHULUAN
Birokrasi
bagi sebagian orang di Indonesia merupakan sebuah prosedur yang berbelit-belit,
dari satu meja ke meja lain yang mengakibatkan biaya semakin mahal. Banyak hal
yang menjadi masalah dalam birokrasi yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan
pemerintahan tidak optimal sehingga perlu dilakukan evaluasi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik (Good Governance ). Reformasi birokrasi di
Indonesia diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Sebagai tindak lanjut pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite
Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
Reformasi
birokrasi menjadi harapan bagi masyarakat agar perubahan yang lebih baik dapat
dilaksanakan di tengah krisis multi dimensional yang tengah terjadi. Namun,
faktanya harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada
pelanggan seperti birokrasi yang diterapkan di Negara maju tampaknya masih
belum mampu diwujudkan. Hal ini dikarenakan kinerja birokrat masih rendah.
Beberapa faktor yang menjadi variabel dalam rendahnya penilaian terhadap
kinerja birokrat salah satunya ialah kompetensi yang dimiliki. Untuk itu perlu
dilakukan manajemen sumber daya manusia yang tepat melalui pengembangan
kompetensi. Dimensi
pengembangan kompetensi untuk peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai
kreativitas, dan inovasi adalah melalui pendidikan, pelatihan, dan belajar dari pengalaman. Ada tiga
jenjang peningkatan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan. Asrori (2014) menjelaskan tiga
jenjang itu adalah sistem/kebijakan, entitas/organisasi, dan individu. Melalui sebuah
sistem yang dibuat, pemerintah daerah dapat menyusun kerangka kebijakan dan peraturan yang mendukung dan membatasi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan. Kedua melalui tingkatan organisasi. Pemerintah daerah dapat menyusun struktur kelembagaan, proses-proses pengambilan
keputusannya, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, relasi-relasi
dan jaringan antar-lembaga. Jenjang individu dapat dilakukan melalui pelatihan
keterampilan administrasi dan pelayanan, penanaman nilai-nilai etika dan
motivasi belajar dan bekerja, sikap, kualifikasi pendidikan, dan pengetahuan.(Abadi, Rodiyah, & Sukmana, 2020).
Pengembangan
kompetensi birokrat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja birokrat
dan budaya birokrasi. Idealnya, dalam sebuah organisasi memiliki nilai-nilai
budaya kerja yang baik dan mendukung tercapainya tujuan secara optimal. Nilai-nilai budaya kerja adalah
keyakinan dasar yang menjadi pola perilaku dan pola untuk mengatur perilaku dalam
organisasi dan bekerja. Nilai budaya kerja ini penting karena dapat digunakan untuk
mempelajari perilaku “yang seharusnya” dan “yang tidak seharusnya” organisasi sebagai pondasi
dalam memahami sikap dan motivasi. Nilai-nilai budaya kerja itu dapat berupa nilai-nilai
sosial, demokratik, birokratik, professional, dan ekonomik (Pattipawae, 2011:34).
Pemerintah
Daerah DYI menyadari urgensi reformasi birokrasi melalui pengembangan
kompetensi dan budaya kerja birokrat untuk mewujudkan good governance. Oleh karena itu, reformasi birokrasi di Daerah Istimewa
Yogyakarta telah dimulai sejak Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan
Pangreh Praja menjadi Pamong Praja, sebagai titik awal landasan perubahan
filosofis pemerintahan dari pola penguasa menjadi pelayan, pengayom masyarakat.
Upaya reformasi semakin kuat bergulir sejak diberlakukannya otonomi daerah,
ditandai dengan kerjasama dengan Kemitraan (Partnership) bagi Pembaharuan Tata
Pemerintahan di Indonesia untuk menyelenggarakan Reformasi Terpadu Pelayanan
Publik (Integrated Civil Service Reform
- ICSR). Sejalan dengan pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki budaya pemerintahan sendiri. Budaya pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta dikenal dengan budaya pemerintahan SATRIYA.
SATRIYA merupakan budaya organisasi
Pemerintah Daerah DIY yang diambil dari nilai-nilai filosofi jawa Hamemayu
Hayuning Bawana memiliki tujuan yaitu melanjutkan dan meningkatkan reformasi
birokrasi tahun 1946 melalui Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan
Pangreh Praja menjadi Pamong Projo, yang berarti terdapat perubahan birokrasi
sebagai penguasa (pangreh) menjadi birokrasi sebagai pelayan (pamong).
Perubahan paradigma tersebut menekankan pada kewajiban pemerintah sebagai
pemberi pelayanan.(MURSITO,
2018)
PEMBAHASAN
Birokrasi menurut Max Weber (1979)
birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan
tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu system
otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan. Birokrasi
memerlukan perubahan sesuai dengan kondisi yang dihadapi agar dapat lebih baik
lagi. Inilah yang disebut dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi atau yang lebih
dikenal sebagai reformasi administrasi negara adalah suatu usaha sadar dan
terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi, sikap dan perilaku
birokrat guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi
negara yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional (Zauhar,
2007:11). Reformasi birokrasi dilakukan untuk mewujudkan good governance salah satu langkah
strategisnya ialah mengubah budaya organisasi untuk mengembangkan dan
meningkatkan kompetensi.
Budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang telah diciptakan,
ditemukan, atau dikembangkan dalam proses memecahkan masalah dan mengambil
keputusan ketika beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan mengelola
integrasi internal organisasi. Pola ini telah berhasil
cukup baik sehingga dapat dipandang sahih (valid).
Itu sebabnya, budaya ini diajarkan kepada anggota baru sebagai cara berpikir,
memandang, merasakan, dan berperilaku dalam kaitannya dengan masalah-masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi.(Nurhadi
& Suryaningsih, 2020)
Budaya pemerintahan SATRIYA yang sudah ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 mengatur tentang Budaya
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah merupakan suatu bentuk
komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya dalam
mencapai keberhasilan transformasi birokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan
lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni filosofis hamemayu hayuning bawana dan ajaran
moral yakni sawiji, greget, sengguh ra
mingkuh serta dengan semangat golong
gilig. Dikutip dari website resmi Sekretariat Daerah Kulon
Progo, berdasarkan
Peraturan Gubernur DIY Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di
Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan
singkatan dari Selaras, Akal budi luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela
Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli Profesional.
Berdasarkan maknanya, SATRIYA sendiri memiliki dua arti. Pertama, SATRIYA dimaknakan sebagai watak ksatria. Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati, dan bertanggung jawab). Semangat dimaksud adalah golong gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. Makna kedua, SATRIYA sebagai singkatan dari : Selaras, Akal budi Luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli-profesional. Budaya "SATRIYA" merupakan sebuah wujud manifestasi kearifan budaya lokal ke dalam budaya pemerintahan dengan cara diinternalisasikan ke dalam diri aparatur negara. Tujuan dari lahirnya Budaya SATRIYA adalah untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas aparatur negara melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam SATRIYA itu sendiri. Sehingga, akan terjadi perubahan mindset (pola pikir) dan cultureset (budaya kerja) pada jajaran birokrasi yang ada. Bila proses internalisasi budaya SATRIYA menjadi budaya pribadi bisa berhasil, maka aparatur birokrasi akan merasa identik dan menyatu sehingga dapat mencapai kinerja yang optimal. Gambaran kondisi birokrasi seperti inilah yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui budaya pemerintahan (organisasi) yang kuat(Nurhadi & Suryaningsih, 2020).
Reformasi birokrasi yang diterapkan
di DIY dipengaruhi oleh budaya politik keraton. Reformasi birokrasi yang
berbasiskan pada momentum Keistimewaan dan nilai-nilai kearifan
lokal yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Road Map
Reformasi Birokrasi
Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta didesain dengan momentum Keistimewaan. Dengan
melakukan penataan dan
mekanisme tata kerja pemerintahan berbasis
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
ditandai dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta(Studi
& Surabaya, 2015).
Implementasi
budaya SATRIYA pada ASN di DIY dilakukan sebagai berikut :
1.
Internalisasi dan Sosialisasi Budaya SATRIYA
Sosialisasi dilakukan oleh tim implementasi
budaya SATRIYA sebagai pelaksana dengan cara memberikan rapat di awal periode
kepada perwakilan setiap instansi yang termasuk kedalam Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hal itu bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada
para perwakilan instansi mengenai budaya SATRIYA. Adapun perwakilan dari
masing-masing instansi kemudian memberikan hasil rapat kepada kepala instansi
untuk kemudian dilakukan internalisasi budaya SATRIYA kepada para ASN yang ada
di instansi masing-masing. Terdapat juga sosialisasi bentuk lain yakni dengan
mewujudkan budaya SATRIYA kedalam bentuk media yang dapat dilihat misal
spanduk, stiker, dan terdapat pula wajib pemakaian pin SATRIYA di baju kerja
terhadap para ASN.
2.
Tanggung Jawab Kepala Instansi atas
Pelaksanaan Internalisasi Nilai Budaya Pemerintahan;
Telah disebutkan bahwa masing-masing kepala instansi
wajib melakukan internalisasi nilai-nilai budaya SATRIYA kepada seluruh ASN
yang ada di instansinya. Adapun internalisasi yang dilakukan oleh kepala
instansi salah satunya adalah dengan cara mengingatkan kembali perihal buday SATRIYA
kepada ASN pada saat apel pagi setiap hari senin. Kepala instansi telah dengan
baik melaksanakan tugas menginternalisasikan budaya SATRIYA kepada ASN yang ada
di instansinya. Tanggungjawab kepala instansi telah dilakukan dengan baik atas
pelaksanaan internalisasi nilai budaya pemerintahan SATRIYA. Namun permasalahan
yang ada di lapangan adalah ditemukannya ASN yang tidak mematuhi budaya SATRIYA
seperti membolos pada saat jam kerja. Di sisi lain, pemberian sanksi juga belum
dapat diberikan dengan semestinya lantaran adanya rasa sungkan diantara para
ASN.
3.
Sosialisasi Nilai Budaya Pemerintahan
dilaksanakan oleh Instansi yang membidangi Pendayagunaan Aparatur;
Instansi Biro Organisasi Sekretariat Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta telah melaksanakan tugas sosialisasi sesuai yang
disebutkan dalam kebijakan. Adapun permasalahan yang ditemukan di lapangan
dalam proses sosialisasi adalah kendala teknis dimana pelaksanaan rapat yang
susah menentukan waktu karena di Biro Organisasi sendiri juga harus menangani
banyak urusan selain implementasi budaya SATRIYA. Permasalahan yang ditemukan
adalah terkait hal yang bersifat teknis.
4.
Monitoring dan Evaluasi Budaya SATRIYA;
Monitoring lebih menitikberatkan pelaksanaan budaya SATRIYA
oleh ASN di lapangan. Monitoring dilakukan oleh masing-masing kepala instansi.
Hasil dari monitoring kemudian dikirimkan ke Biro Organisasi sebagai bahan
untuk evaluasi dan pelaksanaan kebijakan budaya SATRIYA di tahun berikutnya.
Evaluasi dilakukan dengan melihat hasil dari monitoring yang sudah ada.(Nurhadi & Suryaningsih, 2020)
KESIMPULAN
Budaya Birokrasi merupakan sebuah
nilai-nilai penting yang harus dipegang teguh dan dijalankan agar dapat
mengoptimalkan kinerja untuk tercapainya good
governance. Setiap instansi memiliki ciri khas budaya birokrasi yang berakar
dari budaya daerah setempat. Budaya Pemerintahan SATRIYA di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
merupakan suatu bentuk komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai upaya dalam mencapai keberhasilan transformasi birokrasi
yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta yakni filosofis hamemayu
hayuning bawana dan ajaran moral yakni sawiji,
greget, sengguh ra mingkuh serta dengan semangat golong gilig. Pada
dasarnya, setiap kebijakan tidak ada yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya diterapkan.
Dalam implementasinya budaya SATRIYA telah dilakukan dengan baik, ASN memiliki
kompetensi dan kapabilitas sehingga dapat mewujudkan kinerja yang optimal. Akan
tetapi masih perlu dilakukan evaluasi dan pembaharuan berulang. Tingkat
kepatuhan yang tinggi dan respon yang baik dalam implementasi budaya SATRIYA
sudah sepantasnya agar budaya birokrasi ini dipertahankan. Monitoring ketat dan
pemberian sanksi yang tegas sebaiknya dilakukan untuk meminimalisir angka
pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, T.
W., Rodiyah, I., & Sukmana, H. (2020). the Competence and Performance of
Village Apparatus in Sidoarjo Regency. JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen
Publik), 8(2), 60–72. https://doi.org/10.21070/jkmp.v8i2.1151
MURSITO, B. (2018). Evaluasi
Implementasi Budaya Pemerintahan Satriya Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Di
Dinas Sosial Diy Dan Uptd). Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/166302
Nurhadi, I. M.,
& Suryaningsih, M. (2020). Implementasi Peraturan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta tentang Budaya Pemerintahan “Satriya” di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Journal Of Public Policy And Management
Review, 9(2), 1–16.
Studi, P., &
Surabaya, P. (2015). REFORMASI BIROKRASI IMPLIKASI BUDAYA POLITIK KERATON
Riski Williyanto. 05, 195–212.