Kamis, 19 Mei 2022

ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA BIROKRASI SATRIYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA BIROKRASI SATRIYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

 

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Manajemen Strategi



 Oleh:

Eva Ilfiyah Ikhtiarini            (192020100041)

 

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

MEI 2022


 

PENDAHULUAN

Birokrasi bagi sebagian orang di Indonesia merupakan sebuah prosedur yang berbelit-belit, dari satu meja ke meja lain yang mengakibatkan biaya semakin mahal. Banyak hal yang menjadi masalah dalam birokrasi yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak optimal sehingga perlu dilakukan evaluasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance ). Reformasi birokrasi di Indonesia diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.

Reformasi birokrasi menjadi harapan bagi masyarakat agar perubahan yang lebih baik dapat dilaksanakan di tengah krisis multi dimensional yang tengah terjadi. Namun, faktanya harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan seperti birokrasi yang diterapkan di Negara maju tampaknya masih belum mampu diwujudkan. Hal ini dikarenakan kinerja birokrat masih rendah. Beberapa faktor yang menjadi variabel dalam rendahnya penilaian terhadap kinerja birokrat salah satunya ialah kompetensi yang dimiliki. Untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang tepat melalui pengembangan kompetensi. Dimensi pengembangan kompetensi untuk peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai kreativitas, dan inovasi adalah melalui pendidikan, pelatihan, dan belajar dari pengalaman. Ada tiga jenjang peningkatan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan. Asrori (2014) menjelaskan tiga jenjang itu adalah sistem/kebijakan, entitas/organisasi, dan individu. Melalui sebuah sistem yang dibuat, pemerintah daerah dapat menyusun kerangka kebijakan dan peraturan yang mendukung dan membatasi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan. Kedua melalui tingkatan organisasi. Pemerintah daerah dapat menyusun struktur kelembagaan, proses-proses pengambilan keputusannya, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, relasi-relasi dan jaringan antar-lembaga. Jenjang individu dapat dilakukan melalui pelatihan keterampilan administrasi dan pelayanan, penanaman nilai-nilai etika dan motivasi belajar dan bekerja, sikap, kualifikasi pendidikan, dan pengetahuan.(Abadi, Rodiyah, & Sukmana, 2020).

Pengembangan kompetensi birokrat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja birokrat dan budaya birokrasi. Idealnya, dalam sebuah organisasi memiliki nilai-nilai budaya kerja yang baik dan mendukung tercapainya tujuan secara optimal. Nilai-nilai budaya kerja adalah keyakinan dasar yang menjadi pola perilaku dan pola untuk mengatur perilaku dalam organisasi dan bekerja. Nilai budaya kerja ini penting karena dapat digunakan untuk mempelajari perilaku “yang seharusnya” dan “yang tidak seharusnya” organisasi sebagai pondasi dalam memahami sikap dan motivasi. Nilai-nilai budaya kerja itu dapat berupa nilai-nilai sosial, demokratik, birokratik, professional, dan ekonomik (Pattipawae, 2011:34).

Pemerintah Daerah DYI menyadari urgensi reformasi birokrasi melalui pengembangan kompetensi dan budaya kerja birokrat untuk mewujudkan good governance. Oleh karena itu, reformasi birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta telah dimulai sejak Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan Pangreh Praja menjadi Pamong Praja, sebagai titik awal landasan perubahan filosofis pemerintahan dari pola penguasa menjadi pelayan, pengayom masyarakat. Upaya reformasi semakin kuat bergulir sejak diberlakukannya otonomi daerah, ditandai dengan kerjasama dengan Kemitraan (Partnership) bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia untuk menyelenggarakan Reformasi Terpadu Pelayanan Publik (Integrated Civil Service Reform - ICSR). Sejalan dengan pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki budaya pemerintahan sendiri. Budaya pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan budaya pemerintahan SATRIYA.

SATRIYA merupakan budaya organisasi Pemerintah Daerah DIY yang diambil dari nilai-nilai filosofi jawa Hamemayu Hayuning Bawana memiliki tujuan yaitu melanjutkan dan meningkatkan reformasi birokrasi tahun 1946 melalui Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan Pangreh Praja menjadi Pamong Projo, yang berarti terdapat perubahan birokrasi sebagai penguasa (pangreh) menjadi birokrasi sebagai pelayan (pamong). Perubahan paradigma tersebut menekankan pada kewajiban pemerintah sebagai pemberi pelayanan.(MURSITO, 2018)

 

PEMBAHASAN

Birokrasi menurut Max Weber (1979) birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu system otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan. Birokrasi memerlukan perubahan sesuai dengan kondisi yang dihadapi agar dapat lebih baik lagi. Inilah yang disebut dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi atau yang lebih dikenal sebagai reformasi administrasi negara adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi, sikap dan perilaku birokrat guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi negara yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional (Zauhar, 2007:11). Reformasi birokrasi dilakukan untuk mewujudkan good governance salah satu langkah strategisnya ialah mengubah budaya organisasi untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi.

Budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang telah diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan dalam proses memecahkan masalah dan mengambil keputusan ketika beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan mengelola integrasi internal organisasi. Pola ini telah berhasil cukup baik sehingga dapat dipandang sahih (valid). Itu sebabnya, budaya ini diajarkan kepada anggota baru sebagai cara berpikir, memandang, merasakan, dan berperilaku dalam kaitannya dengan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi.(Nurhadi & Suryaningsih, 2020)

Budaya pemerintahan SATRIYA yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 mengatur tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah merupakan suatu bentuk komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya dalam mencapai keberhasilan transformasi birokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni filosofis hamemayu hayuning bawana dan ajaran moral yakni sawiji, greget, sengguh ra mingkuh serta dengan semangat golong gilig. Dikutip dari website resmi Sekretariat Daerah Kulon Progo, berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan singkatan dari Selaras, Akal budi luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli Profesional.

Berdasarkan maknanya, SATRIYA sendiri memiliki dua arti. Pertama, SATRIYA dimaknakan sebagai watak ksatria. Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati, dan bertanggung jawab). Semangat dimaksud adalah golong gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. Makna kedua, SATRIYA sebagai singkatan dari : Selaras, Akal budi Luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli-profesional. Budaya "SATRIYA" merupakan sebuah wujud manifestasi kearifan budaya lokal ke dalam budaya pemerintahan dengan cara diinternalisasikan ke dalam diri aparatur negara. Tujuan dari lahirnya Budaya SATRIYA adalah untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas aparatur negara melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam SATRIYA itu sendiri. Sehingga, akan terjadi perubahan mindset (pola pikir) dan cultureset (budaya kerja) pada jajaran birokrasi yang ada. Bila proses internalisasi budaya SATRIYA menjadi budaya pribadi bisa berhasil, maka aparatur birokrasi akan merasa identik dan menyatu sehingga dapat mencapai kinerja yang optimal. Gambaran kondisi birokrasi seperti inilah yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui budaya pemerintahan (organisasi) yang kuat(Nurhadi & Suryaningsih, 2020).

Reformasi birokrasi yang diterapkan di DIY dipengaruhi oleh budaya politik keraton. Reformasi birokrasi yang berbasiskan pada momentum Keistimewaan dan nilai-nilai   kearifan   lokal   yang   ada   di   Daerah   Istimewa Yogyakarta. Road Map Reformasi Birokrasi   Pemerintahan   Daerah Istimewa Yogyakarta didesain dengan momentum Keistimewaan.  Dengan  melakukan  penataan  dan  mekanisme tata    kerja    pemerintahan    berbasis    keistimewaan    Daerah Istimewa   Yogyakarta,   ditandai dengan   telah   disahkannya Undang-Undang Nomor  13  Tahun 2012  tentang  Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta(Studi & Surabaya, 2015).

Implementasi budaya SATRIYA pada ASN di DIY dilakukan sebagai berikut :

1.      Internalisasi dan Sosialisasi Budaya SATRIYA

Sosialisasi dilakukan oleh tim implementasi budaya SATRIYA sebagai pelaksana dengan cara memberikan rapat di awal periode kepada perwakilan setiap instansi yang termasuk kedalam Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada para perwakilan instansi mengenai budaya SATRIYA. Adapun perwakilan dari masing-masing instansi kemudian memberikan hasil rapat kepada kepala instansi untuk kemudian dilakukan internalisasi budaya SATRIYA kepada para ASN yang ada di instansi masing-masing. Terdapat juga sosialisasi bentuk lain yakni dengan mewujudkan budaya SATRIYA kedalam bentuk media yang dapat dilihat misal spanduk, stiker, dan terdapat pula wajib pemakaian pin SATRIYA di baju kerja terhadap para ASN.

2.      Tanggung Jawab Kepala Instansi atas Pelaksanaan Internalisasi Nilai Budaya Pemerintahan;

Telah disebutkan bahwa masing-masing kepala instansi wajib melakukan internalisasi nilai-nilai budaya SATRIYA kepada seluruh ASN yang ada di instansinya. Adapun internalisasi yang dilakukan oleh kepala instansi salah satunya adalah dengan cara mengingatkan kembali perihal buday SATRIYA kepada ASN pada saat apel pagi setiap hari senin. Kepala instansi telah dengan baik melaksanakan tugas menginternalisasikan budaya SATRIYA kepada ASN yang ada di instansinya. Tanggungjawab kepala instansi telah dilakukan dengan baik atas pelaksanaan internalisasi nilai budaya pemerintahan SATRIYA. Namun permasalahan yang ada di lapangan adalah ditemukannya ASN yang tidak mematuhi budaya SATRIYA seperti membolos pada saat jam kerja. Di sisi lain, pemberian sanksi juga belum dapat diberikan dengan semestinya lantaran adanya rasa sungkan diantara para ASN.

3.      Sosialisasi Nilai Budaya Pemerintahan dilaksanakan oleh Instansi yang membidangi Pendayagunaan Aparatur;

Instansi Biro Organisasi Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta telah melaksanakan tugas sosialisasi sesuai yang disebutkan dalam kebijakan. Adapun permasalahan yang ditemukan di lapangan dalam proses sosialisasi adalah kendala teknis dimana pelaksanaan rapat yang susah menentukan waktu karena di Biro Organisasi sendiri juga harus menangani banyak urusan selain implementasi budaya SATRIYA. Permasalahan yang ditemukan adalah terkait hal yang bersifat teknis.

4.      Monitoring dan Evaluasi Budaya SATRIYA;

Monitoring lebih menitikberatkan pelaksanaan budaya SATRIYA oleh ASN di lapangan. Monitoring dilakukan oleh masing-masing kepala instansi. Hasil dari monitoring kemudian dikirimkan ke Biro Organisasi sebagai bahan untuk evaluasi dan pelaksanaan kebijakan budaya SATRIYA di tahun berikutnya. Evaluasi dilakukan dengan melihat hasil dari monitoring yang sudah ada.(Nurhadi & Suryaningsih, 2020)

 

KESIMPULAN

Budaya Birokrasi merupakan sebuah nilai-nilai penting yang harus dipegang teguh dan dijalankan agar dapat mengoptimalkan kinerja untuk tercapainya good governance. Setiap instansi memiliki ciri khas budaya birokrasi yang berakar dari budaya daerah setempat. Budaya Pemerintahan SATRIYA di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah merupakan suatu bentuk komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya dalam mencapai keberhasilan transformasi birokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni filosofis hamemayu hayuning bawana dan ajaran moral yakni sawiji, greget, sengguh ra mingkuh serta dengan semangat golong gilig. Pada dasarnya, setiap kebijakan tidak ada yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya diterapkan. Dalam implementasinya budaya SATRIYA telah dilakukan dengan baik, ASN memiliki kompetensi dan kapabilitas sehingga dapat mewujudkan kinerja yang optimal. Akan tetapi masih perlu dilakukan evaluasi dan pembaharuan berulang. Tingkat kepatuhan yang tinggi dan respon yang baik dalam implementasi budaya SATRIYA sudah sepantasnya agar budaya birokrasi ini dipertahankan. Monitoring ketat dan pemberian sanksi yang tegas sebaiknya dilakukan untuk meminimalisir angka pelanggaran.       

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, T. W., Rodiyah, I., & Sukmana, H. (2020). the Competence and Performance of Village Apparatus in Sidoarjo Regency. JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik), 8(2), 60–72. https://doi.org/10.21070/jkmp.v8i2.1151

MURSITO, B. (2018). Evaluasi Implementasi Budaya Pemerintahan Satriya Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Di Dinas Sosial Diy Dan Uptd). Retrieved from http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/166302

Nurhadi, I. M., & Suryaningsih, M. (2020). Implementasi Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Budaya Pemerintahan “Satriya” di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Journal Of Public Policy And Management Review, 9(2), 1–16.

Studi, P., & Surabaya, P. (2015). REFORMASI BIROKRASI IMPLIKASI BUDAYA POLITIK KERATON Riski Williyanto. 05, 195–212.


 


Minggu, 15 Mei 2022

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) DALAM REVITALISASI PEREKONOMIAN PASCA PANDEMI

MAKALAH

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) DALAM REVITALISASI PEREKONOMIAN PASCA PANDEMI


Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Administrasi Perpajakan



 Oleh:

Eva Ilfiyah Ikhtiarini            (192020100041)


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

MEI 2022


KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Administrasi Perpajakan dengan tepat waktu.

Penulisan makalah ini bertujuan sebagai penyelesaian untuk memenuhi Ujian Tengah Semester dengan judul Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi.

Dengan itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penulis, Bapak Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP. Selaku dosen pengampu mata kuliah Administrasi Perpajakan. Penulis juga berterimakasih kepada para orangtua, sahabat, teman, dan narasumber yang sudah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami membutuhkan saran dan kritik konstruksif demi perbaikan makalah ini di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memenuhi harapan berbagai pihak.


Sidoarjo, 15 Mei 2022


Penyusun




BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pandemi  COVID-19  menjadi  salah  satu  wabah  yang  menimbulkan  keresahan  paling ekstrim   selama   dua   tahun   terakhir.   Hal   ini   disebabkan   implikasi   yang   ditimbulkan menyentuh seluruh elemen,  baik ekonomi,  sosial, dan politik, di seluruh dunia (Khanzad  & Gooyabadi,  2021),  termasuk  di  Indonesia.  The  World  Trade  Organisation  (WTO)  bahkan memprediksi  tatanan  negara  masih  akan  belum  stabil  bahkan  volume  perdagangan  dunia secara  global  akan  mengalami  penurunan  sekitar  32%  pada  tahun  2021-2022.  Terlebih, ancaman   virus   Corona   kembali   hadir   dengan   varian   baru   seperti   Omicron,   sehingga keseluruhan  aktivitas  masyarakat  harus  dibatasi  sesuai  dengan  mandat  WHO,  WTO  dan pemerintah  negara(Arrizal  &  Sofyantoro,  2020).  Indonesia  sendiri  mengalami  perubahan drastis  pada  angka-angka  di  sektor  pariwisata,  perdagangan,  kesehatan,  bahkan  sektor ekonomi   makro   maupunmikro,   tidak   terkecuali   pada   sektor   ekonomi   yang   paling terpengaruh oleh COVID-19 adalah sektor rumah tangga(Sugiri, 2020).Tidak ingin mengalami kerugian masif, pemerintah kemudian mengambil langkah dalam percepatan penanganan  Covid-19,  salah  satunya menerapkankebijakan  PSBB  (Pembatasan Sosial Berskala Besar).  Kebijakan  PSBB  bertujuan  agar  masyarakat membatasi seluruh kegiatan di luar dan menekan angka penyebaran Covid-19 secara masif di Indonesia (Rosita &  Freddy,  2022). Bahkan, pembatasan ini juga  diterapkan bagi pelaksanaan pendikan, kegiatan ekonomi maupun sektor lainnya yang mengundang kerumunan dan berbahaya bagi masyarakat(Sukmana, H., et.al. (2022)).

Sejak kemunculannya  di akhir  tahun  2019, wabah  Covid-19 terus  menunjukkan  peningkatan  di berbagai  negara. Kebijakan  pembatasan  terhadap ruang gerak publik mau tidak mau terpaksa dilakukan oleh  pemerintah  seluruh  dunia  untuk menghambat penyebaran virus. Namun, kebijakan ini tentu berdampak   buruk   terhadap   perekonomian   secara global. Organization for Economic  Co-Operation and Development (OECD) memprediksi bahwa dunia akan mengalami  perlambatan   ekonomi  hingga   menjadi yang terburuk sejak tahun 2009 (BBC News, 2020).

            Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan adanya perlambatan ekonomi   bahkan mencapai angka minus. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa komponen perekonomian pada tahun  2020  mengalami  kontraksi  sehingga  produk domestik bruto cenderung menurun dibandingkan tahun 2019. Pertumbuhan  ekonomi  Indonesia  juga mengalami   perlambatan   hingga   mencapai -5,32% pada  kuartal  kedua  tahun  2020.  Kontraksi  paling dalam dialami oleh komponen   konsumsi   rumah tangga   yang   menjadi   penopang paling   dominan dalam  produk  domestik  bruto. Secara  matematis, produk  domestik  bruto  (Y)  merupakan  penjumlahan dari  konsumsi  (C),  investasi  (I),  belanja  pemerintah (G),  dan  net  ekspor  (X-M)  (Dumairy,  2006). Dengan demikian,  rendahnya  konsumsi  rumah  tangga atau melemahnya  daya  beli  masyarakat  akan  membawa dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan.(Indahsari & Fitriandi, 2021)

            Dalam upaya pemulihan perekonomian, maka pemerintah menetapkan kebijakan pembebasan PPNBM. Beberapa jenis mobil tertentu tidak dikenakan PPN dan PPNBM. Hal ini bertujuan agar uang yang berberedar lebih banyak dan rantai perekonomian tidak terputus. Akan tetapi, kebijakan ini dinilai kurang tepat sebab hanya berfokus pada kalangan menengah ke atas saja dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap revitalisasi perekonomian. Berdasarkan analisis masalah tersebut maka penulis makalah ini dengan judul “Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi”.


1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan analisis permasalahan yang dikemukakan diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemi?”


1.3.Tujuan dan Manfaat

1.3.1.      Tujuan

         Untuk mengetahui efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemi.

1.3.2.      Manfaat

1.   Secara Akademis diharapkan dapat memberikan manfaat menambah referensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan, terutama bagi mereka yang tertarik terhadap permasalahan kebijakan perpajakan untuk meningkatkan ilmu pemerintahan.

2.   Secara Praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan langkah-langkah strategis bagi pemerintah.    



BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kebijakan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Insentif pajak pertambahan nilai diberikan selama terjadi wabah COVID-19. Terkait PPN, perlakuan insentif berbeda dengan ketiga jenis pajak sebelumnya. Pembebasan PPN yang diberikan merupakan kemudahan proses ganti rugi PKP sebagaimana dimaksud dalam PMK 23 2020 selama 6 bulan ke depan terhitung sejak April. Terdapat perbedaan batas nominal ganti rugi yang diberikan oleh eksportir PKP dan eksportir non-PKP. Tidak ada batasan nominal PPN untuk PKP sebagai eksportir, kemudian untuk PKP Non Eksportir mendapat percepatan restitusi hingga sebanyak 5 miliar rupiah. Untuk PKP Eksportir memperoleh fasilitas yang tak terbatas nilainya dalam hal pengajuan restitusi. Kondisi tersebut sesuai dengan pelaksanaan tarif PPN yang diberikan oleh eksportir. Untuk PKP yang menerima manfaat pajak tidak perlu mengajukan permohonan penetapan PKP berisiko rendah ke dalam KPP terdaftar. Untuk mendorong dalam pendapatan negara, pemerintah memperkenalkan pajak atau transaksi digital melalui sistem elektronik (PMSE). Perppu No. 1 Tahun 2020 menginformasikan skema PMSE dalam memungut pajak secara digital berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh. Jika hal tersebut segera diambil, otoritas pajak segera menyusun aturan untuk membuat payung hukum perpajakan digital lebih spesifik. Otoritas pajak dan Kementerian Keuangan mempersiapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar hukum penghitungan PPN untuk PMSE. Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) juga disiapkan guna mengatur tentang PPh dan Pajak Transaksi Digital. Aktivitas ini sungguh relevan karena meningkatnya aktivitas online yang dilakukan oleh entitas ekonomi akibat social distancing dan PSBB. Selama pandemi, aktivitas menggunakan aplikasi zoom dapat meningkat dan mungkin dikenai pajak atas aktivitas tersebut. Perdagangan online, yang saat ini tidak tersedia bagi pemungut cukai, dapat dikontrol atau tunduk pada aturan yang ketat untuk memenuhi kewajiban penjual tersebut sebagai wajib pajak yang melakukan bisnis melalui media elektronik(Suwandi, 2022).

2.2. Kebijakan Penurunan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPNBM DTP)

Sejak tanggal 1 Maret 2021, pemerintah mulai menerapkan kebijakan PPnBM DTP pada pembelian mobil baru. Dimulainya program ini untuk mobil penumpang 1.500cc yang memiliki kandungan lokal tertentu. Skemanya ialah per tiga bulan diberlakukan perubahan potongan pajak, yakni bulan Maret-Mei diskon 100 %, bulan Juli-Agustus 50 %, dan bulan Oktober-Desember 25 %. Dikutip dari siaran pers website Kementerian Perindustrian (KEMENPERIN), implementasi kebijakan tersebut mengalami perkembangan ke arah yang positif. Pada Maret saat awal diberlakukan diskon PPnBM ini, sudah ada kenaikan penjualan mobil baru hingga 28,85 persen. Bahkan, pada April 2021, lonjakan penjualan mencapai 227% dibanding periode yang sama tahun 2020 lalu (year on year/yoy). Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan ritel, secara akumulatif, Januari–April 2021 naik 5,9 persen yoy menjadi 257.953 unit. Secara bulanan volume penjualan ritel telah mendekati level normal atau sekitar 80.000 per bulan. 


2.3.Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) Dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi

Pandemi  Covid-19  hampir  melumpuhkan  seluruh  kegiatan  yang  ada  di  seluruh  Indonesia  tak  hanya menciptakan krisis kesehatan masyarakat, pandemi Covid-19 secara nyata juga mengganggu aktivitas ekonomi nasional.  Berbagai  perubahan  drastis  dalam  kehidupan  sosial ekonomi masyarakat  telah  mengubah  interaksi jual-beli   di   pasar.   Situasi   perekonomian   Indonesia   saat   ini   sedang   tidak   sehat.   Pertumbuhan   ekonomi berdasarkan  perhitungan  Year  on  Year pada  kuartal  keempat  tahun  2020  menunjukkan  adanya  pelemahan 2,19%. Sebagian besar sektor mengalami pertumbuhan negatif, seperti perdagangan, reparasi mobil dan motor, Industri  transportasi  dan  pergudangan  yang  mengalami  pertumbuhan  terendah(Riningsih, 2021).

Pertumbuhan  ekonomi  yang  memburuk  sepanjang  2020  tak  terlepas  dari  daya  beli  masyarakat  yang tergerus selama pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Daya   beli   masyarakat   turun   terutama   karena   berkurangnya   penghasilan   di   samping   karena terbatasnya  aktivitas.  Di  tengah  semua  ketidakpastian,  masyarakat  terutama  golongan  menengah  ke  atas mengerem  pembelian  barang-barang  yang  dianggap  tidak  pokok.  Penghasilan  masyarakat  yang  menurun karena  pandemi  menyebabkan  sebagian  besar  sektor  usaha  mengurangi  aktivitasnya  atau  tutup  total.  Angka pengangguran  pun  meningkat.  Badan  Pusat  Statistik  dalam  Survei  Angkatan  Kerja  Nasional  Agustus  2020 menunjukkan,  Covid-19 berimbas  pada  sektor ketenagakerjaan.  Sebanyak  29,12  juta orang  atau 14,28 % dari 203,97 juta orangpenduduk usia kerja terdampak pandemi. Jumlah pengangguran meningkat sejumlah 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 % menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 % menjadi 77,68 juta orang.(Riningsih, 2021).

Dalam menanggapi rendahnya daya beli masyarakat pemerintah mengambil langkah yakni melalui pemilihan  opsi menerapkan  kebijakan  fiskal  yang  ekspansif, salah satunya melalui penurunan tarif pajak. Tujuan dari kebijakan ini ialah agar jumlah uang yang beredar bertambah sehingga uang yang dibelanjakan oleh masyarakat menjadi lebih banyak dan merangsang  pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemberian insentif pajak menjadi salah satu opsi yang dilakukan pemerintah dalam bidang perpajakan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, insentif pajak ialah sebagai suatu fasilitas  yang  dialokasikan  oleh  pemerintah  untuk individu  atau  organisasi  tertentu  demi  memberikan kemudahan di bidang perpajakan sehingga mendorong wajib pajak     patuh     melaksanakan kewajiban   perpajakannya. Pemerintah berharap kebijakan insentif pajak dapat memberikan dorongan terhadap daya beli masyarakat yang cenderung menurun, mengurangi tekanan terhadap arus kas untuk aktivitas perusahaan, serta membantu dalam pemenuhan kebutuhan sektor impor bahan baku produksi.

 Dalam   peraturan   yang   ditetapkan   Maret 2020, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak  Terdampak  Wabah  Virus  Corona. PMK  ini mengalami perubahan menjadi PMK Nomor 44/PMK.03/2020, selanjutnya diubah kembali menjadi  PMK  Nomor  86/PMK.03/2020,  dan  terakhir pada  Agustus  2020  pemerintah  menerbitkan  PMK Nomor 110/PMK.03/2020. Penerbitan aturan-aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan keringanan berupa pengurangan    beban    pajak, penurunan  tarif, pembebasan  pajak,  dan  relaksasi pelayanan perpajakan(Indahsari & Fitriandi, 2021).

Keseluruhan dari penerimaan pajak pemerintah Indonesia mengalami penurunan karena adanya keringanan pajak yang tercermin dari penerimaan pajak tahun 2020 dibandingkan periode sebelumnya. Dilain pihak, lesunya perdagangan dalam dan luar negeri akibat pelemahan ekonomi selama pandemi COVID-19 (pandemi global) juga menjadi penyebab turunnya penerimaan. Efektivitas insentif pajak pada tahun 2020 dapat dilihat dari adanya kenaikan kembali penerimaan pajak dalam negeri di tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut :


Gambar 1 Penerimaan Pajak Dalam Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021


Berdasarkan gambar di atas memperlihatkan terjadinya peningkatan pendapatan dari pajak selama tahun 2021 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan Pajak Penghasilan meningkat menjadi sebesar 683.775 Milyar Rupiah atau sebanyak 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah meningkat 518.545 atau sebanyak 2.2%, Pajak Bumi & Bangunan meningkat 14.831 Milyar Rupiah atau sebanyak 10.3%, Cukai meningkat 180.000 Milyar Rupiah atau sebanyak 4.5%, dan Pajak Lainnya meningkat 12.431 Milyar Rupiah atau sebanyak 66.1%.

Efektivitas insentif pajak pada tahun 2020 juga dapat dilihat juga dari adanya kenaikan kembali penerimaan pajak perdagangan internasional di tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 2 Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021

Grafik di atas menggambarkan pertumbuhan pendapatan komponen pajak perdagangan internasional tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pendapatan pemerintah dari bea masuk meningkat menjadi 33.173 Triliun Rupiah atau 4,2%, dan pajak ekspor meningkat 4.444, menjadi Rs 1,78 triliun, atau 8,1%. Meski belum bisa dikatakan bahwa penerimaan pajak pemerintah Indonesia pada tahun 2021 telah normal atau meningkat dibandingkan tahun 2019, peningkatan penerimaan pajak dalam negeri dan perdagangan internasional pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020 dipandang sebagai upaya memerangi dampak virus corona.

Hal ini menjadikan pemerintah mendukung program pada tahun 2021 untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi negara dengan memperpanjang masa manfaat atau insentif pajak. Insentif pajak harus diberikan secara selektif sehingga kriteria kelayakan disesuaikan, dengan memprioritaskan sektor-sektor tertentu yang tertinggal dan perlu lebih didukung oleh laju pemulihan. Keputusan ini berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Terkena Dampak Pandemi Corona 2019. (https://pajak101.com/)(Suwandi, 2022).



3.1. Kesimpulan

Pandemi Covid-19 memberikan efek domino pada  segala sektor salah satunya ialah perekonomian. Penurunan daya beli masyarakat jika pemerintah tidak mengambil langkah strategis, maka disinyalir dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi minus bahkan inflasi. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan kebijakan intensif pada bidang perpajakan salah satunya restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pejualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPNBM DTP). Berdasarkan hasil pembahasan, dampak implementasi kebijakan perpajakan belum dapat dikatakan efektif dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemic walaupun sudah menunjukkan dampat positif yang berupa peningkatan penerimaan komponen pajak dalam negeri. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, maka pada tahun 2021 yaitu Pajak Penghasilan naik 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah naik 2.2%, Pajak Bumi dan Bangunan naik 10.3%, Cukai naik 4.5%, serta Pajak Lainnya naik 66.1%. Selain itu, dampak kebijakan perpajakan juga dapat dinilai dari peningkatan penerimaan komponen pajak perdagangan internasional penerimaan negara dari Bea Masuk naik 4.2%, dan Pajak Ekspor naik 8.1%.


3.2. Kritik dan Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi  kebijakan  intensif perpajakan jika tetap mempertahankan kebijakan ini sebagai upaya revitalisasi perekonomian pasca pandemi. Hal ini dilakukan agar, kebijakan tidak hanya menjadi sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi kalangan tertentu saja.  Kebijakan PPNBM tidak perlu dilakukan  untuk mengurangi tekanan penerimaan Negara, sebaliknya kebijakan restitusi PPN  dipertahankan dengan pengawasan dan evaluasi berkala agar dapat dilaksanakan secara optimal.



DAFTAR PUSTAKA

Indahsari, D. N., & Fitriandi, P. (2021). Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Di Masa Pandemi Covid-19 Terhadap Penerimaan Ppn. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 3(1), 24–36. https://doi.org/10.31092/jpkn.v3i1.1202

Kebijakan, I., & Mikro, U. (2022). Implementation of Micro , Small and Medium Enterprises Policy during the Covid-19 Pandemic in Sidoarjo Menengah di Masa Pandemi Covid-19 di Sidoarjo. 10(1), 34–41. https://doi.org/10.21070/jkmp.v10i1.1684

Riningsih, D. (2021). ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK PPnBM MOBIL TERHADAP PENJUALAN MOBIL DI ERA PANDEMI COVID-19. Seminar Nasional Manajemen, Ekonomi …, 291–298. Retrieved from https://proceeding.unpkediri.ac.id/index.php/senmea/article/view/1150

Suwandi, E. D. (2022). Efektivitas Insentif Pajak Dan Kebijakan Di Bidang Perpajakan Sehubungan Dengan Pandemi Covid-19. Keunis, 10(1), 78. https://doi.org/10.32497/keunis.v10i1.3175