Selasa, 26 Juli 2016

Sepenggal Kronologi dan Senandung untuk Senja

Dear Nanta,

Juli 2010.

Awal masa putih biru. Seperti biasa acara MOS adalah acara wajib di setiap sekolah untuk menyambut kehadiran kami, anak baru. Ku kira MOS ini hanya menyusahkan saja, meminta tanda tangan para senior OSIS adalah hal paling menyebalkan. Pasalnya, mereka akan berlari dan bersembunyi ala-ala artis yang dikejar para fans dan wartawan. Terkadang, ada yang berpura-pura mau memberi tanda tangan dengan syarat harus menumpuk kertas mereka kemudian meninggalkannya begitu saja. Kertas yang ia pegang dijatuhkan hingga berserakan. Sebenarnya apa mau mereka? Entahlah.

Agustus 2010.

Peringatan hari kemerdekaan adalah acara tahunan di seluruh pelosok negara kita. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghargai dan menghormati para pahlawan yang telah memperjuangkan negeri ini dari koloni. Sebagai para pemuda generasi penerus bangsa tentunya banyak kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan semangat bela negara. Begitu juga di sekolah, berbagai macam lomba diselenggarakan oleh OSIS sebagai panitia.

Dan disinilah aku mulai mengenal sosok dingin nan beku. Dia terlihat begitu angkuh tak tersentuh. Digilai para senior dan seangkatan membuat aku membencinya. Ia yang hampir sempurna idaman para wanita di sekolah. Cih, melihatnya saja aku merasa jijik. Dia yang jarang bahkan hampir tidak pernah tersenyum, kaku, dan tak ada ramahnya membuatku semakin membencinya. Ketampanan parasnya tak membuat sedikit pun hatiku luluh. Kelihaiannya dalam memainkan bola basket malah membuatku semakin acuh. Kepintarannya dalam akademik malah semakin membuatku cemburu. Oh tidak, aku tak cemburu atau iri melihat ia menjadi idola. Aku tak suka melihatnya begitu sombong dan besar kepala.

Juli 2011.

Kabar begitu cepat menyebar dibawa burung-burung yang tiada hentinya bersuara. Ia menjadi buah bibir di sekolah. Satu nama yang digandrungi pindah ke luar Jawa. Aku tak ambil pusing. Bukan urusanku dan aku tak mau tahu.

Mei 2012.

Sebuah permintaan pertemanan muncul di notifikasi facebook. Namanya begitu familiar. Tanpa berpikir panjang aku menerima permintaan pertemanan melalui social media itu. Beberapa hari kemudian, ia muncul di salah satu album yang ku buat. Di dalamnya berisi ratusan foto bersama tim basketku. Ya, aku pemain basket walaupun tak sejago yang lainnya. Tak apalah. Dan anehnya, entah mengapa jemariku mengetikkan beberapa kata balasan padanya.

Juni 2012.

Sebuah kompetisi basket antar sekolah ku adakan bersama para pengurus OSIS. Lucu ya? Aku yang awalnya membenci sekarang malah menjadi bagian dari mereka. Entah mengapa, rasanya aku ingin mengirimkan pesan singkat lewat obrolan facebook pada ia yang jauh di sana. Aku merutuki diriku sendiri ketika pesan ramah yang ku kirimkan dibalas dengan keangkuhan. Betapa bodohnya aku, ku kira ia berubah begitu saja? Mana mungkin? Menyebalkan.

September 2012.

Hari itu ku lakukan rutinitasku di sekolah seperti biasa. Tak terasa kini aku lah yang paling senior di sekolah. Ya, kelas IX. Alangkah bangganya menjadi Kakak yang tertua yang katanya bisa bertindak semaunya. Tapi aku enggan berkomentar. Yang paling penting adalah tak ada yang mencari masalah denganku maka hidupnya akan aman. Aku tak akan berulah tanpa diganggu terlebih dahulu. Itulah motto hidupku.

Semua orang di kelas ini adalah wajah baru bagiku. Bagaimana tidak, tiap tahun sekolah melakukan pengacakan yang katanya ditujukan agar saling mengenal. Beberapa minggu kami lewati menjadi bagian dari kelas tercinta ini. RESPECT. Begitulah sebutan kelas ini. Jumlahnya tak banyak, hanya 35 siswa. Itu karena beberapa kali ada perubahan siswa yang dipindah ke kelas lainnya. Hingga suatu ketika, wali kelas IX-F datang bersama seorang murid baru yang awalnya membuatku sedikit terkejut. Dia, kembali. Yang selama ini ku benci perlahan aku harus menerima kehadirannya di kelas ini. Mau bagaimana lagi, aku yang kini menjabat sebagai ketua kelas harus bisa bijaksana.

Melalui hari bersamanya kini membuat perasaan benciku sirna. Ternyata, ia tak seburuk yang ku kira. Walaupun terkadang dia sering membuatku jengkel karena sikap acuhnya yang tak berubah. Aku mulai mengenal sifatnya satu persatu. Mulai dari sifat kekanakan, manja, dan suka ngambek. Ia juga tipe orang pelupa, gampang tidur dimana saja.

Aku ingat ketika pertama kali ia masuk kelas ini. Ia duduk di bangku depan. Kemudian ia berbisik padaku agar memindahkannya ke belakang dengan alasan ia sering mengantuk di dalam kelas. Lucu. Kemudian, ia juga pernah memintaku untuk mengantarkannya menghadap kesiswaan untuk mengurus administrasi kepindahannya. Dasar manja!

Dan ketika mendapat tugas kelompok sejarah, ia lupa mengerjakan. Bahkan, ia masih sempat tidur saat kelompok lain sedang mempresentasikan hasil kerjanya. Dasar tukang tidur!

Ada lagi hal yang paling ku ingat dan itu akan membuatku tiada henti tertawa. Ia kehilangan kunci motornya. Ia kebingungan mencari kesana kemari, namun hasilnya nihil. Aku membantu mengobrak-abrik tas bermotif ala tentara miliknya. Hasilnya masih sama. Kemudian, ia melangkah ke parkiran luar mencoba mngecek kuncinya apakah tertinggal di sana, namun tak membuahkan apapun.

Wajah lusuh dan kebingungannya membuatku gemas dan ingin tertawa. Namun, aku tak sampai hati. Aku hanya menepuk pundaknya mencoba menenangkan. Membantu berpikir mencari solusi terbaik. Dan akhirnya, sampai pulang sekolah kunci motor itu masih tak diketahui keberadaannya. Ia pulang dengan motor yang didorong salah satu teman kelas kami. Keesokan harinya ia menggunakan kunci cadangan, ternyata kunci motornya kemarin disimpan oleh tukang parkirnya. Sepertinya ia sedang sial kemarin.

Selang beberapa hari, hal yang paling ku benci akhirnya terjadi. Tahukah hal apa yang paling ku benci? Jawabannya adalah menggambar. Aku tak pernah bisa membuat karya seni yang indah jika berhubungan dengan gambar. Membuat doraemon saja aku tak becus. Yang bisa ku buat hanya rumah, gunung, laut dan sawah. Itu pun seperti gambaran anak TK. Dan kali ini, tugas kelompok geografi membuat peta salah satu negara ASEAN. Dan beruntungnya aku, sekelompok dengannya lagi. Mengapa demikian? Tentu saja ia yang akan ku minta untuk membuat gambarnya. Walaupun awalnya ia marah-marah tak jelas, namun akhirnya ia tetap membuatnya. Aku yang memiliki sifat cerewet sejak lahir, memprotes hasil gambar yang sedikit sobek. Beberapa hari ia marah tak mau menyapa. Ah, lucunya. Hanya karena hal sepele ia ngambek beberapa hari.

Juli 2013.

Tak terasa setahun sudah berlalu. Telah ku tanggalkan seragam putih biru yang akan berganti putih abu. Lagi-lagi bertemu dengan kata MOS. Dan kali ini barang yang harus dibawa semakin banyak dan merepotkan. Bayangkan saja semuanya penuh dengan ungkapan-ungkapan aneh yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Contohnya :

- Sebatang coklat = kayu
- Keripik zodiak = LEO keripik kentang
- Bulpoint terbang = Bulpoint merk pilot
- Air suci = AQUA
dst.

Awal masuk SMA ini jujur, aku kecewa. Sekolah ini bukan sekolah yang aku impikan. Tapi, tak apalah dijalani saja. Aku tak tahu ternyata ia juga diterima disini. Astaga, mengapa harus bertemu lagi? Aku enggan dan bersumpah tak ingin sekelas dengannya. Tapi, takdir berkendak lain. Saat pembacaan kelas sementara, daftar namaku dengannya berada dalam kertas yang sama. Aku sebal, mengeluarkan sumpah serapah yang dibalas ejekan dan bully-an dari teman-temanku. Sial, haruskah aku bertemu dengannya lagi? Dan temanku menggoda dengan celetukkan bahwa kebencianku akan berubah jadi cinta. Hah, yang benar saja?

MOS kali ini lebih berat, bayangkan saja kami harus menyiapkan segalanya di kala kami sedang melakukan ibadah puasa. Panas-panasan di bawah terik matahari mencari bahan yang akan digunakan untuk membuat perlengkapan MOS agar tak kena hukum senior yang galak setengah mati. Ku rasa ini semua cukup menyita tenaga. Dan satu lagi, peraturan macam apa kami tak boleh duduk dengan sesama jenis. Aku yang awalnya duduk dengan Aldian temanku, dipaksa pindah dan duduk dengannya. Double shit. Memang tak ada rasa canggung. Tapi tetap saja aku tak nyaman.

Hingga aku mendapati kejadian tak terlupakan dengannya. Ia yang sering kali lupa menanyakan beberapa hal tentang MOS melalui pesang singkat yang ia kirimkan padaku. Tak jarang, ia juga mengirim pesan lewat obrolan facebook. Sampai suatu ketika kami, peserta MOS. Diminta untuk membawa keripik zodiak. Ia bertanya padaku, apa itu keripik zodiak itu? Tentu saja LEO keripik kentang.

Keesokan harinya, kami mengumpulkan barang-barang yang diminta. Aku yang sangat polos mengira bahwa sebatang coklat yang dimaksud adalah coklat yang dijual dipasaran. Dan ternyata ia memberitahuku bahwa sebatang coklat itu maksudnya adalah sebatang kayu. Ia menertawakanku. Aku diam. Lalu ku lihat barang bawaannya. Tunggu. Ada yang kurang di sana! Aku berpikir sejenak kemudian bertanya. Keripik zodiak mana? Ia menjawab sambil menunjukkan sebuah biskuit bertuliskan OREO. Dan aku tertawa terpingkal-pingkal sedangkan ia melihatku kebingungan. Aku menoyor kepalanya, dan berkata bahwa ia salah membawa snack. Ia malah menyalahkanku, ia berkata bahwa aku mengatakan padanya harus membawa OREO. Hei, yang benar saja? Dia tuli, aku berkata LEO ia bilang OREO. Sudah jelas-jelas kata kuncinya keripik, dia malah berpikir biskuit. Lalu siapa yang oneng di sini huh? Teman sekelas kami menatap dengan pandangan aneh. Karena di kelas ini aku dan dia heboh sendiri. Aku menakutinya bahwa ia akan dihukum. Sedangkan aku tidak karena aku meminta kayu dari anak kelas sebelah. Lalu, ia ditanya oleh senior dimana keripik yang diminta. Ia menjawab bahwa keripiknya patungan denganku karena ukuran kecil habis terjual. Tentu saja aku sempat kaget, namun mau bagaimana lagi. Tak apalah sesekali membantunya kan pahala. Untung saja aku membawa LEO ukuran besar, kalau tidak pasti ia kena hukum. Dan sekali lagi, bukannya memberikan OREO nya padaku sebagai ganti keripikku yang dia akui, dia malah mengumpulkan OREO tersebut dalam kardus berisi snack itu. Dia memang selalu saja menyebalkan.

Acara MOS telah usai. Kami resmi menjadi anak SMA. Atribut yang menyiksa dibuang begitu saja. Begitu pun ia, menggantung id card MOS di sebuah pohon mangga. Aku tertawa melihat tingkahnya, ku peringatkan ia agar mengambil foto yang menempel disana. Ia tak menggubris. Baiklah, entah ide gila dari mana aku mengambil fotonya.

Masih pada bulan yang sama, kali ini pengumuman kelas yang dinanti telah tiba. Aku dan sahabatku sibuk mencari kelas kami. Tahun ini, kurikulum baru diterapkan. Lagi-lagi angkatanku lah yang menjadi kelinci percobaan. Its okay, kami hanya bisa menerima dan melakoninya dengan lapang dada. Kami dijuruskan sejak kelas X. Jujur saja, sebenarnya aku ingin memilih jurusan bahasa. Tapi, ku urungkan niat itu karena menurut Kakak lebih baik masuk IPA. Aku cemas melihat hasilnya. Berkeliling empat kelas tak ada namaku disana. Yang ku temukan adalah namanya dengan seseorang yang menyukainya sejak SD. Entahlah itu benar atau hanya gosip belaka. Aku mencoba tak peduli, tapi entah mengapa sisi lain hati ini seolah menolak dan mengatakan sebaliknya. Ada sedikit rasa kecewa ketika ku dapati aku dan dia tak lagi menjadi teman sekelas.

Lupakan saja. Anggap tak pernah terjadi. Dan kini, aku menunggu angkot di depan gang menuju sekolah. Di tengah terik mentari hilir mudik siswa berseragam di jalanan. Maklum saja, jam pulang sekolah yang selalu dinantikan datang lebih awal. Tentunya semua siswa bahagia tak terkira. Namun, kebahagiaanku musnah ketika ku melihat ia bersama seseorang yang menyukainya. Sesak. Kecewa. Semua beradu dalam dadaku. Perasaan macam apa ini?

November 2013.

Bulan dimana terdapat hari kelahirannya. Aku ingat ia pernah bercerita bahwa tanggal lahir asli dan yang ada di dalam berkas-berkas penting miliknya berbeda. Tanggal lahir sebenarnya adalah tanggal 5 pada bulan ini. Aku yang mengingat itu, tiba-tiba berniat ingin memberikan sesuatu yang spesial untuknya. Sebelum hari ulang tahunnya, ada rencana reuni bersama anak-anak RESPECT. Ia yang berjanji akan datang, nyatanya berdusta. Alasannya ia sedang ada acara keluarga dan akan datang terlambat. Baiklah, akan ku tunggu. Satu jam, dua jam, tiga jam lebih akhirnya satu persatu dari mereka pamit. Tinggal lah aku menunggunya di sini, khawatir jika ia datang dan mencari-cari keberadaan kami. Namun, ternyata aku salah. Sampai jam 10 malam, ia tak kunjung datang jua. Baiklah, aku mengerti bahwa urusan keluarga jauh lebih penting.

Tanggal 5, bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Aku yang telah memesan kue untuknya, dan akan memberikan kue tersebut ketika latihan basket sore nanti. Namun, rencana tak sesuai realita. Keluargaku mendadak harus keluar kota mengunjungi sanak saudara. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya aku meminta salah seorang temanku untuk mengambil kue itu dan menitipkannya pada salah satu teman basketku.

Keesokan harinya, aku datang ke sekolah seperti biasa. Aku melihat teman basketku yang telah membantu. Aku sempat menyuruhnya mengambil gambar kue itu sebelum diberikan padanya. Ku lihat kue itu agak sedikit berantakan. Dan temanku bercerita bahwa kuenya sempat salah nama. Tak masalah yang terpenting ia menerimanya. Walaupun, menurut temanku awalnya ia tak mau menerima.

Jam istirahat, ku dengar berita-berita mengejutkan bahwa kemarin salah seorang anak basket yang berulang tahun memberikan kue tart nya pada anak paskib. Aku yang mendengar berita itu bertanya pada temanku tentang kebenarannya. Dan akhirnya aku harus kembali kecewa. Kue itu hanya dilihatnya saja. Ia seperti menolak kue itu secara halus. Dengan beralasan ia telah mendapat banyak kue hari ini dan dia sedang berpuasa. Kue itu tak sedikit pun dicicipi olehnya. Baiklah, ku rasa itu memang wajar. Kue itu tak mewah, tak mahal pula. Pasti berbeda dengan apa yang ia dapat dari orang sekitarnya.

Fakta lain yang mengejutkan. Ia berbohong, di hari aku menunggunya ia tak ada acara keluarga melainkan hang out bersama teman sekelasnya. Kecewa? Tentu saja. Tapi, aku sadar aku bukan siapa-siapa.

Januari 2014.

Aku mulai mengakui keberadaan perasaan ini. Entah sejak kapan ia bersemi. Namun, benih itu telah tumbuh dan mendarah daging dalam hatiku. Astaga, aku menjilat ludahku sendiri. Bagaimana tidak, dulu aku mengatakan bahwa benci tak akan pernah berubah. Namun, nyatanya aku salah.

Hari senin, adalah hari yang sangat menyebalkan bagi seluruh siswa. Alasan utamanya adalah upacara. Kami tak mengapa jika harus upacara 24 jam dengan syarat sinar mentari tak begitu menyengat. Keluhan macam apa ini, harusnya kami semangat karena masih ada yang perjuangannya lebih berat yakni mereka sang kusuma bangsa.

Andai ia tahu, hal yang paling ku suka adalah memperhatikan dari jauh. Mengamati gerak-geriknya, tingkah konyolnya, bibir simetrinya. Bahkan saat upacara aku selalu mencari lokasi strategis untuk mencuri-curi pandang. Astaga, aku seperti penguntit.

Tiba-tiba seseorang membopongnya keluar dari barisan. Sekembalinya si pembopong aku sempat bertanya. Apa yang terjadi? Dan aku panik. Seusai upacara, aku berlari menuju koridor yang berlainan arah dengan kelasku. UKS. Tempat dimana ia sekarang duduk memeluk lututnya. Raut wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi. Aku memandanginya dari luar UKS. Kemudian, muncul lah salah satu anggota UKS yang bertugas. Aku menanyakan keadaannya, bertanya apakah ia sarapan pagi ini. Aku tahu betul, orangtuanya sibuk. Ia pernah beberapa kali bercerita padaku. Aku khawatir, kalau ia akan kembali terserang typus seperti semasa dulu. Aku meminta tolong pada petugas UKS membelikannya makanan. Dan bodohnya aku tak menyadari bahwa aku tak membawa uang sepeser pun. Akhirnya, aku meminjam pada teman yang ku kenal. Dan memberikannya pada petugas UKS agar mau membelikan sarapan di kantin. Aku undur diri kembali ke kelas uang agak jauh dari lokasiku saat ini. Kalau saja bukan pelajaran matematika, tentu aku rela bolos demi menemaninya.

Februari 2014.

Pelajaran biologi. Saatnya mengumpulkan tugas yang semalam ku kebut habis-habisan. Buku tugas ditumpuk di meja guru. Hingga, selembar kertas foto terjatuh ke lantai. Entah asalnya dari buku yang mana. Dilihatnya foto itu oleh guru biologiku. Ia bertanya, foto siapakah ini? Semua siswa yang tadinya tenang mulai gaduh. Bangkit dari kursi berlomba-lomba melihatnya, aku diam acuh. Hingga salah seorang teman basketku merebut foto itu dan disimpannya. Temanku berbisik bahwa yang terjatuh adalah fotonya. Temanku yang sempat melihat foto itu dan mengenalnya akhirnya salah sangka mengira bahwa teman basketku menyukainya. Dan teman basketku itu rela, asal rahasiaku terjaga. Terima kasih, Yista.

Agustus 2014.

Hari ini ada sebuah pertandingan tim basket temanku di DBL ARENA. Aku mengajaknya untuk menonton bersama. Ia pun meng-iya-kan ajakanku. Selepas upacara peringatan HUT RI, aku bergegas pulang. Mempersiapkan diri menonton pertandingan. Aku terlambat ia mengomel tiada hentinya lewat pesan singkat. Dan saat aku datang ternyata ia masih makan nasi krawu di pinggir jalan. Menyebalkan! Rasanya kata itu selalu cocok untuk menggambarkannya.

Aku tahu ia tak suka pedas. Hingga beberapa jam kami menonton pertandingan ia diam tanpa kata. Dan akhirnya setelah ku amati ia sedang menahan rasa melilit diperutnya. Ck, ceroboh sekali. Pantas saja sedari tadi ia tak ceramah karena keterlambatanku. Jujur aku khawatir, tapi ia bertingkah seolah baik-baik saja.

November 2014.

Kali ini aku tak memberikan apapun untuk ulang tahunmu. Aku merasa kita semakin jauh, entahlah. Mungkin ini hanya perasaanku saja? Ataukah memang ini benar nyatanya? Ia yang semakin dewasa, dan mengubah segala sifat lamanya atau aku yang semakin jauh sampai tak mengenalnya. Tak lagi seperti dulu, tegur sapa pun tak tentu. Bahkan, hampir tak pernah. Aku seperti tak mengenalnya. Kehadiranku bak angin yang berhembus namun tak terlihat. Diabaikan.

Februari 2015.

Bulan kelahiranku. Tanggal 17 hari ulang tahunku. Aku tak mengharap sesuatu yang istimewa. Aku hanya ingin ia mengingatnya.

Hari ini, aku genap berusia 17 tahun. Orang-orang biasa menyebutnya sweet seventeen. Namun, yang terjadi padaku adalah kebalikannya. Shit seventeen. Jadwal latihan basket sore ini, aku berkumpul bersama timku. Tiba-tiba salah seorang adik kelasku berkata bahwa ia sedang dekat dengan seseorang yakni kakak kelas kami. Bahkan, kabar yang begitu menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka berpacaran. Aku diam seribu bahasa. Mencoba menetralisir rasa yang berkecamuk dalam dada. Tersiksa. Rasanya cairan bening dari pelupuk mata ingin tumpah. Aku menguatkan diriku sendiri, mencoba berfikir bahwa berita ini adalah ilusi. Dan ini semua hanya mimpi, bukan kenyataan pahit yang harus ku hadapi. Ternyata aku salah. Asaku tentang sweet seventeen musnah sudah. Tanpa ia sadari ia gores luka menganga. Tak nampak memang. Tapi, dapat dirasa gejolaknya dalam dada.

November 2015.

Ulang tahunnya ke 18 tahun. Aku semakin jauh. Ia seperti bayang semu. Ia indah seperti senja. Namun hadirnya fatamorgana. Tak dapat ku raih walau sehasta. Dekat, namun dibatasi oleh dinding pemisah. Hatinya tak dapat ku rengkuh. Senyumnya hanya bisa ku lihat dalam bisu. Tawanya terkenang dalam ingatanku. Tuturnya adalah masa lalu. Aku dan dia pernah bersama namun hanya sebatas teman biasa yang kini berbeda. Sudahlah, mungkin aku yang terbelenggu dalan perasaanku sendiri. Sampai akhirnya aku harus merasakan perih. Aku yang mulai menaruh hati padanya, dan aku pula yang harus siap menerima nestapa.

Hari itu, aku sengaja menunggu pergantian hari. Besok adalah tanggal 5, walaupun aku bukan orang pertama di hatinya setidaknya ia mengingatku karena aku yang pertama mengucapkan di hari pertambahan umurnya. Pukul 00.00 WIB ku kirimkan pesan singkat lewat blackberry messenger. Sampai minggu berikutnya pesan itu tak kunjung menampilkan huruf R. Mungkin, pesanku tertimbun.

Februari 2016.

Ulang tahunku ke 18. Keadaan masih tak berubah. Aku masih berada di titik yang sama. Aku masih mencoba mengetuk pintu yang sama sekali telah dilarang masuk oleh sang pemilik. Aku mengenang masa itu. Kala aku membencinya, mulai bersikap ramah, menghabiskan waktu bersama, bermain basket, pergi menonton basket dan kenangan-kenangan yang mungkin ia sendiri lupa. Aku tak mengerti mengapa hati enggan beranjak pergi. Inginku melupakannya namun apalah daya ia selalu terngiang di kepala. Kenangan bersamanya seperti putaran kaset rusak yang mendengung di memori.

April 2016.

Mendekati Ujian Nasional SMA. Tiba saatnya kami untuk mohon do'a pada seisi sekolah. Kami juga meminta maaf pada orang-orang yang pernah kami buat terluka. Dan ya, aku ingin meminta maaf padanya pula. Aku ingin memperbaiki pertemanan ini. Saat ia berada di parkiran sekolah aku memberanikan diri menghampirinya. Langkahku terhenti. Ku lihat seorang teman sekelasnya yang dikabarkan spesial menghampiri. Ku urungkan niatku lalu melesat pergi. Masih ada sesuatu yang janggal sampai saat ini. Entahlah.

Mei 2016.

Usai ujian, kami seperti pengangguran. Lontang-lantung di rumah tanpa pekerjaan. Namun, tidak sepenuhnya begitu. Pasalnya kami juga sibuk mengurus berbagai macam pendaftaran untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ingatan itu kembali membelengguku. Dulu, aku berjanji akan mengutarakan perasaan ini ketika kami akan berpisah. Dengan kata lain ketika kami lulus SMA. Nyatanya, sampai detik ini perasaan masih tersimpan rapih dalam hati. Mungkin sebenarnya ia tahu. Dan itu alasannya mengapa ia menjaga jarak denganku. Atau bahkan kini ia yang membenciku karena merusak citranya sebagai salah seorang most wanted sekolah.

Aku ingin melupakannya. Namun, tiap aku menjauh takdir seolah mengujiku dengan mempertemukan kami. Aku seperti layang-layang yang ditarik ulur oleh pemiliknya. Maju terluka, mundur sia-sia. Lalu, aku harus bagaimana? Mengapa perasaan ini begitu menyiksa? Mengapa rasa ini tak segera binasa? Mengapa aku menjauh tapi selalu meragu? Mengapa aku mendekat namun ia tak tersentuh?

Hari wisuda pun tiba. Aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan mengenakan jas hitam dengan kemeja warna biru yang serasi dengan warna kebayaku. Astaga, pendapat macam apa ini. Ingin aku mendekat dan mengajaknya berbicara. Tak butuh 3600 detik seperti sebuah film, hanya 60 detik pun ku rasa cukup. Ingin ku curahkan segenap asa meronta dalam dada. Aku tak memiliki keberanian. Aku diam termangu dalam munajahku. Aku hanya berharap akan ada kesempatan tanpa mencoba menciptakannya. Dan hasilnya, sampai wisuda usai tak ada sepatah kata pun yang terucap. Hanya memandang punggungnya yang semakin jauh dan semakin tak tersentuh.

Juni 2016.

Aku masih berusaha melupakannya. Perlahan tapi pasti aku mulai terbiasa. Namun, segelintir ingatan tentang masa itu masih membelenggu. Menohokku agar sulit bangkit dan berpindah ke lain hati. Aku terus berusaha, namun terkadang rindu masih singgah. Aku masih mencoba namun kenangan itu tak akan sirna.

Kini, aku mulai berlapang dada. Berharap ujung cerita yang abu-abu akan menunjukkan hitam atau putih. Dan aku bisa memutuskan untuk pergi. Meninggalkan kenangan yang memenjarakan. Mengambil hikmah dari kisah yang menyakitkan. Tak mengapa, ini semua adalah konsekuensinya.

Juli 2016.

Sebulan lebih, terakhir kali aku melihatnya. Aku tak tahu rasa ini masih sama atau telah berubah bahkan sirna. Mungkin memudar perlahan. Mungkin tetap bertahan. Dia yang selalu ku tuliskan dalam buku harianku, dia yang selalu ku sebut dalam sujudku, dia yang ku selipkan dalam munajah sepertiga malam entah bagaimana kabar.

Ku ambil kesimpulan, bahwa mencintai seseorang seperti memetik mawar. Ketika kau ingin memetiknya kau harus rela tersakiti oleh duri tajamnya. Dan mencintai seseorang seperti hembusan angin dapat dirasakan namun tak dapat disentuh. Mencintai seseorang seperti berdo'a yang selalu dipanjatkan namun menunggu Tuhan mengabulkannya. Mencintai seseorang seperti senja, indah dipandang diabadikan lewat kenangan namun tak dapat dimiliki seutuhnya. Mencintai seseorang seperti sungai, mengalir deras semaunya mengikuti alur yang ditentukan dan berakhir pada delta. Mencintai seseorang seperti membaca buku, membaca dan memahami. Mencintai seseorang seperti elang yang berburu, memperhatikan dari jauh. Mencintai seseorang seperti merpati yang dilepas, hanya akan kembali kepada sang pemilik sejati. Jikalau cintamu bertepuk sebelah, seperti menggenggam angin. Yang didapati hanya kosong, hampa. Dan mencintai seseorang harus rela terluka ketika tak ditakdirkan bersama. Maka cintai seseorang dengan bijaksana. Lepaskan bila memang ia enggan digenggam. Pertahankan bila memang pantas diperjuangkan. Jangan terbelenggu oleh sesuatu yang semu. Dan nyatanya aku terlambat menyadari semua itu. Sepahit apapun cinta pasti manis bila kau ikhlas menjalaninya. Biarpun pahit yang ku rasa setiap harinya, namun bagiku manis jika kau tahu cara menikmatinya. Seperti pembuatan caramel macchiato, begitulah percampuran rasa yang terjadi dalam sebuah cinta.

Inilah sepenggal kisahku, dari beberapa potong kenangan yang melekat dalam ingatan. Nanta, tahukah siapa 'ia' yang dimaksud dalam kronologiku? Sebut saja ia senja. Kehadirannya diantara gelap dan terang. Diantara siang dan malam. Warnanya indah dinanti setiap pasang mata yang mengaguminya. Senja dengan deru ombak yang menggebu seperti rasa dalam kalbu. Senja yang hanya bisa ku pandang keindahan, hadirnya selalu ku nantikan, ku abadikan lewat kenangan karena tak dapat ku genggam. Senja yang menjelma dalam sosok insan yang terlihat sempurna. Senja yang menciptakan bayang semu dan fatamorgana menjadi satu. Kau pasti bertanya mengapa aku masih bertahan mencintai senja? Entahlah, aku tak tahu. Semakin aku ingin membunuh rasaku, semakin ia menggebu. Bagaimana mungkin aku menahan kesakitan sendirian selama 3 tahun belakangan? Beruntungnya hatiku diciptakan oleh Tuhan, jikalau ciptaan manusia pasti telah remuk tak tersisa. Ku titipkan sebuah sajak dan sebuah senandung untuk senja agar ia ingat aku selalu menantinya. Senandung yang ku buat dengan bantuan arasemen musik bersama temanku. Sebelumnya ku peringatkan bahwa senandung itu dinyanyikan oleh teman yang membantu mengarasemen. Kau pasti bertanya mengapa bukan aku? Jawabannya tentu aku tak ingin kau tahu siapa aku. Semoga kau mengerti siapakah senja yang selama ini selalu menjadi bayang indah namun menggores lara.

Berawal dari sebuah kebencian
Berubah secara perlahan
Gulir waktu menjadi saksi bisu
Bahwa benci menjadi rindu

Tak disangka hadirnya bagai candu
Kosong terasa dalam kalbu
Gelisah terasa kala rindu
Tangis pecah kala cemburu

Memang benar kata pepatah
Benci dan cinta setipis helai rambut
Kala ia mulai melanda
Hatimu akan carut marut

Aku terbelenggu dalam mangu
Mengagumi dari jauh
Mengejar bayang semu
Yang tak akan bisa ku rengkuh

Apa hendak dikata
Bila aku tak dapat singgah
Mengetuk pintu yang tak terjamah
Menunggu sebuah fatamorgana

Ajarkan tuk berlapang dada
Bila pada akhirnya aku dan kamu tak menjadi kita
Mungkin Tuhan akan memberi lebih dari yang ku kira
Entah bagaimana pada akhirnya
Hitam atau putih
Bersatu atau pergi
Aku masih sabar dalam sembilu abu-abu
Menjadikan semuanya titian kalbu

Dari sang pecinta senja

P.s. Link : Senandung untuk Senja

https://youtu.be/Tuk2pwBsKo8