Minggu, 02 Mei 2021

REALITAS PENCEGAHAN OVERLAPPING MELALUI IMPLEMENTASI SIMTANAS

  Indonesia merupakan sebuah negara yang jumlah penduduknya cukup besar. Seiring perkembangan laju pertumbuhan penduduk juga sangat pesat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan indeks pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 mencapai 1,49 %.[1] Seiring pertumbuhan penduduk tentu berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat, salah satunya yakni ketersediaan lahan. Pertambahan populasi tidak sejalan dengan ketersediaan lahan untuk pemukiman.


Saat ini lahan pemukiman semakin minim Banyak lahan produktif yang akhirnya malah ditimbun dijadikan perumahan dan perkantoran. Kondisi ini memerlukan peran pemerintah dalam pengaturan pertanahan. Dalam hal ini, pengaturan yang dimaksud meliputi penguasaan, pemilikan, serta pemeliharaan secara sistematis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan UUPA pada pasal 19 ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi Pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Adanya undang-undang ini memberikan hak bagi masyarakat untuk mendaftarkan kepemilikan tanah tidak hanya sekadar memberikan jaminan dan kepastian hukum yang kemudian dikonversi dalam bentuk sertifikat sebagai bukti authentik kepemilikan yang memiliki nilai ekonomis dalam kehidupan masyarakat sebab sertifikat ini merupakan bagian dari surat-surat berharga. Pemberian hak atas tanah di Indonesia dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN-RI) dalam rangka memberikan jamin dan kepastian hukum yang dapat mencakup secara keseluruhan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mencakup basis data pertanahan secara keseluruhan di Indonesia maka BPN-RI sudah seharusnya menerapkan teknologi informasi. Teknologi informasi tersebut harus dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang bersifat nasional. Sistem yang kemudian hadir ini tidak hanya memberi informasi pada masyarakat namun juga memiliki sifat manajerial yang dapat mengelola data pertanahan secara nasional. Sistem ini juga merupakan bentuk perubahan pola pelayanan kepada masyarakat. Badan Pertanahan Nasional dalam upaya mengubah pola pelayan kepada masyarakat sebenarnya telah melakukan pelayanan berbasis komputer sejak 1997. Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) atau Land Office Computerization (LOC) dengan tujuan menciptakan tertib administrasi pertanahan, meningkatkan kualitas informasi pertanahan BPN, untuk mempermudah pemeliharaan data pertanahan, menghemat space / storage untuk penyimpanan data-data pertanahan dalam bentuk digital (paperless), meningkatkan kemampuan SDM pegawai BPN di bidang teknologi informatika / komputer, melakukan standarisasi data dan sistem informasi dalam rangka mempermudah pertukaran informasi pertanahan serta menciptakan suatu sistem informasi pertanahan yang handal. Sistem ini diharapkan dapat meminimalisir atau menekan permasalahan dalam pendaftaran hak atas tanah.

Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dinyatakan bahwa pendaftaran tanah yang diadakan Pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Namun, pada kenyataannya overlapping (kepemilikan sertifikat hak milik ganda atas tanah sering terjadi. Adanya sertifikat ganda atas status kepemilikan tanah menimbulkan ketidakpastian hukum.

Faktor-faktor penyebab terjadinya overlapping :

  • a. Human error atau kesalahan yang dilakukan oleh petugas pertanahan.
  • b.  Tidak adanya basis data mengenai bidang –bidang tanah yang telah terdaftar maupun belum terdaftar serta masih adanya unsure kesengajaan dari pemilik tanah untuk mendaftakan kembali sertifikat yang sebenarnya sudah ada di BPN, hal ini bertujuan untuk memanfaatkan kelemahan lembaga BPN.
  • c.   Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat.
  • d.     Persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil mencapai tujuannya.

Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat ditekan atau diminimalisir melalui penertiban administrasi pertanahan melalui sistem elektronik dalam penggunaan komputer, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada pasal 1 huruf b menugaskan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembangunan sistem informasi pertanahan dan manajemen pertanahan, yang meliputi penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan e-government, e-commerce dan e-payment. Namun, realitas lapangan membuktikan bahwa implementasi SIMTANAS belum maksimal. Penyiapan data elektronik dalam implementasi SIMTANAS di BPN dilakukan berdasarkan data manual yang didasarkan pada data tektual dan spasial yang didapati di lapangan. Aakurasi yang masih bisa mencapai kesalahan radius 100 meter membuat informasi data pertanahan yang dikelola oleh BPN kerap mengalami beberapa permasalahan, seperti terjadi tumpang tindih pada suatu bidang tanah dengan bidang tanah lainnya, dan berujung pada permasalah yang ditemui oleh PPAT sebagai mitra Kantor Pertanahan dan juga pada masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik.


Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan atau membangun sebuah sistem informasi pertanahan yang menyiapkan basis data pertanahan secara akurat. Seluruh bidang data yang tanah dipetakan dalam suatu sistem koordinat nasional yang terhubung dengan data subyek dengan data yuridis bidang tanah dalam sistem komputerisasi yang lebih handal serta selalu diperbarui serta cukup mudah dalam hal pencarian. Selain sistem informasi, pemerintah juga perlu membangun atau menciptakan sebuah sistem manajemen pertanahan yang yang tidak hanya dapat diakses oleh aparat BPN, namun masyarakat pada umumnya. Kedisiplinan dan integritas dari aparat BPN juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan terhadap pengumpulan data yuridis dan data fisik bidang tanah. Jika memang diperlukan, pemerintah perlu menerapkan sistem double crosscheck untuk setiap data yang diinput agar persentase kesalahan akibat human error dapat ditekan atau diminimalisir. #KuliahKerendiAdministrasiPublikUMSIDAaja #BanggaAPUMSIDA

 

Nama               : Eva Ilifiyah Ikhtiarini

NIM                : 192020100041

Prodi               : Administrasi Publik

Universitas      : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo



[1]Arbiati, Nurul. 2016. Implementasi Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) untuk Mencegah Sertifikat Ganda (Overlapping). Skripsi. Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar.

REALITAS BUDAYA BIROKRASI DI INDONESIA

 Organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Budaya Birokrasi yang baik di pemerintahan menjadi penting, guna memberikan pelayanan jasa yang prima kepada publik (masyarakat). Menurut Siagian Budaya organisasi (birokrasi) adalah kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Siagian, 1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas Organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.[1]

Pada dasarnya substansi dari pelayanan publik selalu berkitan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun kelompok atau instansi tertentu yang bertujuan memberikan bantuan dan kemudahan pada masyarakat agar tercapainya sebuah tujuan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilakukan oleh pemerintah ataupun non pemerintah. Pelayanan publik sebagai proses kerja dari birokrasi, keterikatan dan pengaruh budaya organisasi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku para anggota organisasi. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu, keberhasilan sebuah organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di dalamnya.

  

Dennis A. Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Waters (1994) menambahkan bahwa kegagalan dari pada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

 

Dari kedua teori di atas muncul pertanyaan mengenai posisi masyarakat Indonesia saat ini tergolong pada budaya masyarakat yang seperti apa. Para ahli cenderung berpendapat bahwa masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki budaya masyarakat egaliter. Oleh karena itu, bentuk pelayanan publik yang cocok ialah pelayanan yang cepat dan terbuka. Menurut Gabriel A. Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja birokrasi yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

Sayangnya, budaya birokrasi pemerintah Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang yang dimulai dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, era penjajahan Belanda dan Jepang, era kemerdekaan hingga paska kemerdekaan masih belum menemukan bentuk yang ideal. Teori yang dikemukakan para ahli berkebalikan dengan realitas lapangan. Indonesia masih jauh dari sosok ideal birokrasi pernah digambarkan oleh Max Weber yang disebutnya dengan bentuk legalrasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen yang didasarkan atas kemampuan teknis, diferensiasi antara pendapat resmi dan pribadi. Upaya-upaya pembaharuan manajemen dilakukan secara continue. Tetapi, citra dan kinerja birokrasi Indonesia yang buruk masih kuat di mata masyarakat. Birokrasi lebih banyak berkonotasi dengan citra negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik; berperilaku korup, kolutif, dan nepotisme (KKN); memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan; masih rendahnya profesionalisme; dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.

 

Contoh kasus-kasus yang membuat citra pelayanan publik buruk di mata masyarakat yang baru-baru ini terjadi adalah kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial. Kasus korupsi yang terjadi khususnya di masa pandemi dengan kondisi ekonomi yang nyaris mengalami resesi tentu sangat mengecewakan publik. Contoh lain dalam birokrasi di tingkat lebih rendah yakni pengaruh adat dan budaya lama yang cenderung mengutamakan pihak yang memiliki hubungan kekerabatan, pemuka desa atau orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi di pelayanan desa. Budaya ‘sungkan’ yang berkembang perlu dilakukan sedikit dimodifikasi. Maksudnya adalah budaya segan atau ‘sungkan’ dimaknai dalam setiap konteks yang berbeda bukan dalam hal pelayanan publik. Jika masih tidak dapat mengesampingkan hubungan kekerabatan, relasi ataupun status sosial yang lebih tinggi dalam memberikan pelayanan publik yang seharusnya berkeadilan maka pelayanan publik di Indonesia akan terus mengalami kebobrokan. Pameo-pameo yang membudaya seperti, ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’, ‘wani piro’, dan lain-lain membuat angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) meningkat. Peningakatan angka korupsi yang dilakukan tidak hanya terjadi di pemerintah pusat tetapi sudah mencapai tingkat terendah. Inilah salah satu bukti bahwa pejabat publik Indonesia tidak memiliki integritas yang baik. Jika pejabat publik tidak berintergritas dan tidak memiliki etika pelayanan yang baik bagaimana bisa memberikan pelayanan yang optimal. Prinsip-prinsip pelayanan publik yang seharusnya dijadikan pilar hanya sekedar bacaan dan hafalan. Budaya seperti inilah yang masih belum bisa dicabut hingga ke akar oleh pemerintah. PR pemerintah saat ini adalah integritas dari apartur/birokrat dan sistem yang efisien dan efektif serta memperkecil ruang gerak terjadinya KKN agar Good Governance bisa diwujudkan. #KuliahKerendiAdministrasiPublikUMSIDAaja #BanggaAPUMSIDA
 
 
Nama               : Eva Ilifiyah Ikhtiarini
NIM                : 192020100041
Prodi               : Administrasi Publik
Universitas      : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

[1] Yusrialis, “BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN ( Keperihatinan Dan Harapan ),” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (2012): 1–28.