Minggu, 02 Mei 2021

REALITAS BUDAYA BIROKRASI DI INDONESIA

 Organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Budaya Birokrasi yang baik di pemerintahan menjadi penting, guna memberikan pelayanan jasa yang prima kepada publik (masyarakat). Menurut Siagian Budaya organisasi (birokrasi) adalah kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Siagian, 1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas Organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.[1]

Pada dasarnya substansi dari pelayanan publik selalu berkitan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun kelompok atau instansi tertentu yang bertujuan memberikan bantuan dan kemudahan pada masyarakat agar tercapainya sebuah tujuan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilakukan oleh pemerintah ataupun non pemerintah. Pelayanan publik sebagai proses kerja dari birokrasi, keterikatan dan pengaruh budaya organisasi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku para anggota organisasi. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu, keberhasilan sebuah organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di dalamnya.

  

Dennis A. Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Waters (1994) menambahkan bahwa kegagalan dari pada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

 

Dari kedua teori di atas muncul pertanyaan mengenai posisi masyarakat Indonesia saat ini tergolong pada budaya masyarakat yang seperti apa. Para ahli cenderung berpendapat bahwa masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki budaya masyarakat egaliter. Oleh karena itu, bentuk pelayanan publik yang cocok ialah pelayanan yang cepat dan terbuka. Menurut Gabriel A. Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja birokrasi yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

Sayangnya, budaya birokrasi pemerintah Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang yang dimulai dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, era penjajahan Belanda dan Jepang, era kemerdekaan hingga paska kemerdekaan masih belum menemukan bentuk yang ideal. Teori yang dikemukakan para ahli berkebalikan dengan realitas lapangan. Indonesia masih jauh dari sosok ideal birokrasi pernah digambarkan oleh Max Weber yang disebutnya dengan bentuk legalrasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen yang didasarkan atas kemampuan teknis, diferensiasi antara pendapat resmi dan pribadi. Upaya-upaya pembaharuan manajemen dilakukan secara continue. Tetapi, citra dan kinerja birokrasi Indonesia yang buruk masih kuat di mata masyarakat. Birokrasi lebih banyak berkonotasi dengan citra negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik; berperilaku korup, kolutif, dan nepotisme (KKN); memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan; masih rendahnya profesionalisme; dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.

 

Contoh kasus-kasus yang membuat citra pelayanan publik buruk di mata masyarakat yang baru-baru ini terjadi adalah kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial. Kasus korupsi yang terjadi khususnya di masa pandemi dengan kondisi ekonomi yang nyaris mengalami resesi tentu sangat mengecewakan publik. Contoh lain dalam birokrasi di tingkat lebih rendah yakni pengaruh adat dan budaya lama yang cenderung mengutamakan pihak yang memiliki hubungan kekerabatan, pemuka desa atau orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi di pelayanan desa. Budaya ‘sungkan’ yang berkembang perlu dilakukan sedikit dimodifikasi. Maksudnya adalah budaya segan atau ‘sungkan’ dimaknai dalam setiap konteks yang berbeda bukan dalam hal pelayanan publik. Jika masih tidak dapat mengesampingkan hubungan kekerabatan, relasi ataupun status sosial yang lebih tinggi dalam memberikan pelayanan publik yang seharusnya berkeadilan maka pelayanan publik di Indonesia akan terus mengalami kebobrokan. Pameo-pameo yang membudaya seperti, ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’, ‘wani piro’, dan lain-lain membuat angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) meningkat. Peningakatan angka korupsi yang dilakukan tidak hanya terjadi di pemerintah pusat tetapi sudah mencapai tingkat terendah. Inilah salah satu bukti bahwa pejabat publik Indonesia tidak memiliki integritas yang baik. Jika pejabat publik tidak berintergritas dan tidak memiliki etika pelayanan yang baik bagaimana bisa memberikan pelayanan yang optimal. Prinsip-prinsip pelayanan publik yang seharusnya dijadikan pilar hanya sekedar bacaan dan hafalan. Budaya seperti inilah yang masih belum bisa dicabut hingga ke akar oleh pemerintah. PR pemerintah saat ini adalah integritas dari apartur/birokrat dan sistem yang efisien dan efektif serta memperkecil ruang gerak terjadinya KKN agar Good Governance bisa diwujudkan. #KuliahKerendiAdministrasiPublikUMSIDAaja #BanggaAPUMSIDA
 
 
Nama               : Eva Ilifiyah Ikhtiarini
NIM                : 192020100041
Prodi               : Administrasi Publik
Universitas      : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

[1] Yusrialis, “BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN ( Keperihatinan Dan Harapan ),” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (2012): 1–28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar