Minggu, 21 November 2021

Analisis Pengaruh Kebijakan Penduduk di Indonesia Terhadap Dimensi Perekonomian dan Sosial

 

PAPER

 

Analisis Pengaruh Kebijakan Penduduk di Indonesia Terhadap Dimensi Perekonomian dan Sosial

 

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Kebijakan Penduduk

 

Dosen Pengampu :

 

Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP

                                                                                                               

Disusun Oleh :

 

Eva Ilifiyah Ikhtiarini         192020100041

 

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

2021

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat. Selain jumlah penduduknya yang besar, luasnya negara kepulauan dan tidak meratanya penduduk membuat Indonesia semakin banyak mengalami permasalahan terkait dengan hal kependudukan. Tidak hanya itu, faktor geografi, tingkat migrasi, struktur kependudukan di Indonesia dan lain-lain, membuat masalah kependudukan semakin kompleks dan juga menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus guna kepentingan pembangunan manusia Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah kependudukan. Kebijakan penduduk menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diberi pengertian sebagai berikut : “…..langkah-langkah dan program-program yang membantu tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, sosial, demografis dan tujuan-tujuan umum yang lainnya dengan jalan mempengaruhi variable-variabel demografi yang utama, yaitu besar dan pertumbuhan penduduk serta perubahan dan ciri-ciri demografinya…..”.

1.2              Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengaruh kebijakan penduduk di Indonesia terhadap dimensi perekonomian dan sosial?

1.3              Tujuan Pembahasan

1.      Memahami, mengetahui, dan menganalisis pengaruh kebijakan penduduk di Indonesia terhadap dimensi perekonomian dan sosial.

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1         Masalah Kependudukan di Indonesia

Pembangunan ekonomi di Negara-negara sedang berkembang yang mengalami ledakan penduduk, termasuk Indonesia, akan selalu mengkaitkan antara kependudukan dan pembangunan ekonomi. Akan tetapi hubungan antara masalah kependudukan dan pembangunan ekonomi tergantung dari sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi tiap negara (country specific). Dengan demikian, tiap negara mempunyal masalah kependudukan yang khas dan mempunyai potensi dan tantangan pembangunan ekonomi yang khas pula(Wirosardjono, 1988).[1] Adapun masalah-masalah kependudukan yang dialami oleh Indonesia antara lain:

1.      Besarnya Jumlah Penduduk (Over Population)

2.      Tingginya Tingkat Pertumbuhan Penduduk

3.      Persebaran Penduduk Tidak Merata

4.      Tingkat Kesehatan Penduduk yang Rendah

5.      Pendidikan Yang Rendah

6.      Banyaknya Jumlah Penduduk Miskin

7.      Kesenjangan Sosial[2]

2.2         Kebijakan Penduduk di Indonesia

Kebijakan kependudukan di Indonesia merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah yang tujuannya untuk mengatur pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk. Kebijakan kependudukan di Indonesia diterapkan dengan mempengaruhi tiga variabel utama masalah kependudukan yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Kebijakan penduduk berkaitan erat dengan dinamika kependudukan yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Kebijakan penduduk di Indonesia yakni :

1.      KB (Keluarga Berencana)

Pada waktu ini kebijakan mengenai fertilitas hanya di hubungkan dengan penurunan fertilitas melalui Keluarga Berencana. Bahkan banyak orang beranggapan bahwa kebijakan penduduk identik dengan Keluarga Berencana. Kebijaksanaan kependudukan utama di Indonesia adalah kebijaksanaan Keluarga Berencana (KB) Kebijaksanaan ini sudah luas di ketahui oleh semua petugas KB maupun masyarakat luas. KB dapat di laksanakan di daerah-daerah pedesaan secara efektif. Ini berbeda dengan pola penyebaran KB yang biasanya mulai dari kota ke pedesaan, sehingga prosesnya lambat.

2.      Urbanisasi

Migrasi merupakan mekanisme redistribusi penduduk. Hanya dengan migrasi distribusi penduduk dapat dipengaruhi dalam jangka relative pendek. Dalam membahas migrasi biasanya urbanisasi dicakup pula didalamnya. Urbanisasi sebagai keadaan dan proses pemusatan penduduk di daerah urban (perkotaan) banyak dipengaruhi oleh migrasi dari desa ke kota. Karena itu ada anggapan seolah-olah urbanisasi hanya disebabkan migrasi dari desa ke kota, atau urbanisasi di anggap identik dengan migrasi dari desa ke kota. Padahal urbanisasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertambahan alami, migrasi desa kota dan reklasifikasi daerah pedesaan (rural) menjadi perkotaan (urban).

3.      Membatasi usia perkawinan

Masalah yang dapat mempengaruhi fertilitas ialah nuptialitas, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan. Umur pekawinan pertama, gampang atau sukarnya perceraian serta perkawinan ulang dapat dihubungkan dengan kebijakan kependudukan juga. Sedangkan kebijakan yang mempengaruhi variable kependudukan secara langsung dalam hal ini antara lain : Pelayanan kontrasepsi yang langsung mempengaruhi besarnya penurunan jumlah penduduk akibat kelahiran (natalitas).

4.      Transmigrasi

Pemerintah Indonesia merdeka meneruskan program pemindahan penduduk itu dengan transmigrasi. Konsep transmigrasi yang dicetuskan pada permulaan kemerdekaan Indonesia merupakan kebijaksanaan kependudukan yang secara sadar hendak mengurangi penduduk jawa dengan jalan memindahkannya keluar pulau jawa. Kebijaksanaan kependudukan itu di jalankan sampai pemerintahan orde baru memberikan orientasi yang luas mulai tahun 1972. Undang-undang no. 3 tahun 1972 memberikan tujuan yang luas pada transmigrasi dimana pertimbangan demografis hanya merupakan satu dari 7 sasaran yaitu : Peningkatan taraf hidup; Pembangunan daerah; Keseimbangan penyebaran penduduk; Pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; Pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; Kesatuan dan persatuan bangsa; Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.[3]

 

2.3         Analisis Pengaruh Kebijakan Penduduk di Indonesia Terhadap Dimensi Perekonomian dan Sosial

Kebijakan penduduk yang diimplementasikan di Indonesia memberikan dampak pada dimensi perekonomian dan dimensi sosial. Diantara kebijakan penduduk yang diimplementasikan :

1.      Keluarga Berencana (KB)

Program KB diimplementasi dengan harapan mengurangi angka kelahiran dan menekan laju pertumbuhan penduduk.Angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi jika tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik akan memicu masalah baru yakni kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia dapat ditekan melalui program ini. Akan tetapi realitas di Indonesia, keluarga miskin memiliki anak lebih dari dua. Hal ini membuktikan bahwa program KB belum berhasil. Jika keluarga miskin memiliki banyak anak dengan tingkat pendidikan yang rendah maka akan muncul klaster keluarga miskin baru yang menambah angka kemiskinan di Indonesia.

2.      Urbanisasi

Perpindahan penduduk dari desa ke kota membuat kondisi kota menjadi padat. Jika banyak penduduk yang berpindah ke kota maka persebaran penduduk menjadi tidak merata. Umumnya, masyarakat desa yang memilih merantau ke kota mengharapkan taraf hidup yang lebih baik. Padahal, tidak selalu demikian. Semakin banyak yang mencari pekerjaan ke kota maka peluang kerja semakin kecil karena persaingan semakin ketat. Jika gagal, maka dapat mengakibatkan naiknya angka pengangguran dan bukan tidak mungkin akan mendorong adanya tindakan kriminalitas.

3.      Pembatasan usia perkawinan

Jika tidak diberlakukan pembatasan usia perkawinan maka akan banyak terjadi pernikahan di bawah umur yang mengakibatkan angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk meningkat.

4.      Transmigrasi

Pemerataan penduduk melalui program ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Fasilitas yang diberikan pemerintah kepada peserta transmigrasi memberikan peluang bagi mereka untuk memulai hidup yang lebih baik dari segi ekonomi. Akan tetapi, tidak banyak yang tertarik pada program ini karena pembangunan Indonesia masih belum merata.

 

BAB III PENUTUP

3.1       Kesimpulan

Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai program untuk mengatasi masalah kependudukan. Akan tetapi dalam implementasinya, masalah kependudukan masih belum terselesaikan. Kebijakan penduduk di Indonesia sangat berpengaruh terhadap dimensi perekonomian dan dimensi sosial. Oleh karena itu diperlukan adanya inovasi dalam kebijakan penduduk di Indonesia.

3.1       Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, sebaiknya berbagai program yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi masalah kependudukan sejauh ini perlu dilakukan evaluasi secara berulang. Kekurangan yang terjadi selama Tahun 2020 menjadi catatan sebagai bahan evaluasi penyusunan kebijakan guna memperbaiki kinerja tahun mendatang. Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap capaian dari program yang dijalankan, agar kendala yang dihadapi dan resiko kegagalannya dapat diminimalkan serta diupayakan berbagai solusi untuk mengatasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Widarjono, “Penduduk Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia: Analisis Kausalitas,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 4, no. 2 (1999): 147–69.

 

URL : https://sman1pengasih.sch.id/berita/detail/masalah-kependudukan-di-indonesia. Diakses pada tanggal 21 November 2021.

 

URL : https://dukcapil.gunungkidulkab.go.id/2016/09/16/kebijakan-kependudukan/. Diaksespada tanggal 21 November 2021.

 



[1]Agus Widarjono, “Penduduk Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia: Analisis Kausalitas,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 4, no. 2 (1999): 147–69.

Selasa, 16 November 2021

Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Gresik

Oleh : Eva Ilifiyah Ikhtiarini_192020100041_Program Studi Administrasi Publik_Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

BAB I PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Kabupaten Gresik merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi pusat maupun daerah. Secara geografis, kabupaten Gresik terletak di sebelah Barat Laut dari Ibukota Provinsi (Surabaya). Kontribusi Kabupaten Gresik terhadap keuangan Negara dibuktikan dengan adanya beberapa perusahaan BUMN yang secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam pendapatan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Daerah setiap awal tahun anggaran menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan gambaran tentang rencana penerimaan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran. Selanjutnya pada setiap akhir tahun anggaran pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggung jawaban pengelola keuangan daerah selama satu periode. Berdasarkan hal tersebut maka, dalam makalah ini akan membahas mengenai pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Gresik.

1.2              Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Gresik?

1.3              Tujuan Pembahasan

1.      Memahami, mengetahui, dan menganalisis pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Gresik.

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1         Keuangan Daerah

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah sebagai berikut: “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pusdiklatwas BPKP, 2007).

2.2         Ruang Lingkup Keuangan Daerah

Ruang lingkup keuangan daerah berdasarkan pasal 2 peraturan pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah meliputi:

1.      Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman.

2.      Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.

3.      Penerimaan daerah.

4.      Pengeluaran daerah.

5.      Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.

6.      Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.

2.3         Pengelolaan Keuangan Daerah

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2005, pengelolaan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien salah satunya tergantung pada pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan keuangan daerah tidak lagi bertumpu atau mengandalkan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten/Kota , tetapi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kini wajib menyusun dan melaporkan posisi keuangannya, yang kemudian dikonsolidasikan oleh PPKD.

 

2.4         Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Gresik

Kabupaten Gresik merupakan salah satu kabupaten dengan PDRB yang masuk lima besar tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Sektoral PDRB yang ada di kabupaten Gresik terdiri dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel & restoran, sektor pengangkutan & komunikasi, sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Berdasarkan LPJIP Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Gresik hasil realisasi anggaran Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Tahun 2020 dapat dilihat pada Sasaran I (Meningkatnya Kualitas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) dengan indikator persentase OPD yang melaksanakan tata kelola keuangan sesuai ketentuan, memiliki pagu anggaran sebesar Rp 2.579.032.250,00 dan terealisasi sebesar Rp 1.800.748.596,00 atau mencapai 69,82%. Hal ini berarti terdapat efisiensi sebesar 30,18%. Hasil pengukuran kinerja anggaran pada Sasaran I dengan indikator Persentase OPD yang Melaksanakan Tata Kelola Keuangan Sesuai Ketentuan memiliki kategori Cukup Baik. Kurang maksimalnya dalam penyerapan anggaran, sebagian besar dikarenakan kegiatan di berbagai bidang mengalami pengurangan koordinasi dan evaluasi secara tatap muka. Hal tersebut disebabkan adanya Peraturan dari pusat maupun daerah yang membatasi pelaksanaan koordinasi dan evaluasi secara tatap muka atau langsung. Walaupun pelaksanaan koordinasi dan evaluasi tidak dapat dilaksanakan secara tatap muka, pelaksanaan ini digantikan dengan melalui telleconference melalui zoom meeting yang dilakukan secara berkala. Pada pencapaian realisasi anggaran Sasaran II (Meningkatnya Pendapatan Daerah) dengan indikator Persentase Capaian Realisasi Pendapatan Daerah memiliki pagu anggaran sebesar Rp 1.081.657.950,00 dengan capaian realisasi anggarannya sebesar Rp 685.939.880,00 atau 63,41%. Hal ini berarti bahwa sasaran ini memiliki efisiensi sebesar 36,59%. Hasil pengukuran kinerja anggaran pada Sasaran II termasuk kategori Cukup Baik. Tidak maksimalnya penyerapan pada sasaran ini dikarenakan tidak dilaksanakannya penagihan secara langsung sehingga tidak memerlukan penyerapan anggaran yang berkaitan dengan monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan monitoring, koordinasi dan evaluasi penagihan dilaksanakan melalui media sosial elektronik baik melalui radio Suara Giri FM, facebook, group whatsapp, maupun teleconference (zoom meeting). Selain melalui media elektronik, penagihan melalui media cetak untuk mengajak kesadaran masyarakat membayar pajak juga dilakukan dengan pencetakan brosur dan memasang spanduk maupun baliho.


BAB III PENUTUP

3.1       Kesimpulan

Pelaksanaan belanja daerah dalam Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Gresik cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya efisiensi selama masa pandemi. Berrdasarkan hasil pelaksanaan program dan kegiatan Tahun 2020 pada Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Gresik dapat diinformasikan bahwa capaian indikator kinerja 2 (dua) sasaran strategis menunjukkan keberhasilan dalam mewujudkan tujuan dalam Rencana Strategis (Renstra) Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2016-2021 sebagaimana yang telah ditargetkan.

3.1       Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, sebaiknya Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Gresik melakukan langkah strategis melalui analisis dan evaluasi agar dapat memperbaiki dan menangani apabila terjadi masalah ketidaksesuaian penyerapan anggaran di masa mendatang. Kekurangan yang terjadi selama Tahun 2020 menjadi catatan sebagai bahan evaluasi penyusunan kebijakan guna memperbaiki kinerja tahun mendatang. Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap capaian dari rencana pembangunan jangka menengah, agar kendala yang dihadapi dan resiko kegagalannya dapat diminimalkan serta diiupayakan berbagai solusi untuk mengatasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Keuangan Dan, Aset Daerah, and Kata Pengantar, “Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Kabupaten Gresik 2021,” 2021.

 

Nur Habibah, “Analisis Pengukuran Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Gresik Tahun Anggaran 2009-2013,” 2014.

 

E KUSTINAH, “Keuangan Daerah,” ISSN 2502-3632 (Online) ISSN 2356-0304 (Paper) Jurnal Online Internasional & Nasional Vol. 7 No.1, Januari – Juni 2019 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta 53, no. 9 (2018): 1689–99, www.journal.uta45jakarta.ac.id.

 

Minggu, 02 Mei 2021

REALITAS PENCEGAHAN OVERLAPPING MELALUI IMPLEMENTASI SIMTANAS

  Indonesia merupakan sebuah negara yang jumlah penduduknya cukup besar. Seiring perkembangan laju pertumbuhan penduduk juga sangat pesat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan indeks pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 mencapai 1,49 %.[1] Seiring pertumbuhan penduduk tentu berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat, salah satunya yakni ketersediaan lahan. Pertambahan populasi tidak sejalan dengan ketersediaan lahan untuk pemukiman.


Saat ini lahan pemukiman semakin minim Banyak lahan produktif yang akhirnya malah ditimbun dijadikan perumahan dan perkantoran. Kondisi ini memerlukan peran pemerintah dalam pengaturan pertanahan. Dalam hal ini, pengaturan yang dimaksud meliputi penguasaan, pemilikan, serta pemeliharaan secara sistematis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan UUPA pada pasal 19 ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi Pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Adanya undang-undang ini memberikan hak bagi masyarakat untuk mendaftarkan kepemilikan tanah tidak hanya sekadar memberikan jaminan dan kepastian hukum yang kemudian dikonversi dalam bentuk sertifikat sebagai bukti authentik kepemilikan yang memiliki nilai ekonomis dalam kehidupan masyarakat sebab sertifikat ini merupakan bagian dari surat-surat berharga. Pemberian hak atas tanah di Indonesia dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN-RI) dalam rangka memberikan jamin dan kepastian hukum yang dapat mencakup secara keseluruhan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mencakup basis data pertanahan secara keseluruhan di Indonesia maka BPN-RI sudah seharusnya menerapkan teknologi informasi. Teknologi informasi tersebut harus dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang bersifat nasional. Sistem yang kemudian hadir ini tidak hanya memberi informasi pada masyarakat namun juga memiliki sifat manajerial yang dapat mengelola data pertanahan secara nasional. Sistem ini juga merupakan bentuk perubahan pola pelayanan kepada masyarakat. Badan Pertanahan Nasional dalam upaya mengubah pola pelayan kepada masyarakat sebenarnya telah melakukan pelayanan berbasis komputer sejak 1997. Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) atau Land Office Computerization (LOC) dengan tujuan menciptakan tertib administrasi pertanahan, meningkatkan kualitas informasi pertanahan BPN, untuk mempermudah pemeliharaan data pertanahan, menghemat space / storage untuk penyimpanan data-data pertanahan dalam bentuk digital (paperless), meningkatkan kemampuan SDM pegawai BPN di bidang teknologi informatika / komputer, melakukan standarisasi data dan sistem informasi dalam rangka mempermudah pertukaran informasi pertanahan serta menciptakan suatu sistem informasi pertanahan yang handal. Sistem ini diharapkan dapat meminimalisir atau menekan permasalahan dalam pendaftaran hak atas tanah.

Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dinyatakan bahwa pendaftaran tanah yang diadakan Pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Namun, pada kenyataannya overlapping (kepemilikan sertifikat hak milik ganda atas tanah sering terjadi. Adanya sertifikat ganda atas status kepemilikan tanah menimbulkan ketidakpastian hukum.

Faktor-faktor penyebab terjadinya overlapping :

  • a. Human error atau kesalahan yang dilakukan oleh petugas pertanahan.
  • b.  Tidak adanya basis data mengenai bidang –bidang tanah yang telah terdaftar maupun belum terdaftar serta masih adanya unsure kesengajaan dari pemilik tanah untuk mendaftakan kembali sertifikat yang sebenarnya sudah ada di BPN, hal ini bertujuan untuk memanfaatkan kelemahan lembaga BPN.
  • c.   Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat.
  • d.     Persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil mencapai tujuannya.

Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat ditekan atau diminimalisir melalui penertiban administrasi pertanahan melalui sistem elektronik dalam penggunaan komputer, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada pasal 1 huruf b menugaskan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembangunan sistem informasi pertanahan dan manajemen pertanahan, yang meliputi penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan e-government, e-commerce dan e-payment. Namun, realitas lapangan membuktikan bahwa implementasi SIMTANAS belum maksimal. Penyiapan data elektronik dalam implementasi SIMTANAS di BPN dilakukan berdasarkan data manual yang didasarkan pada data tektual dan spasial yang didapati di lapangan. Aakurasi yang masih bisa mencapai kesalahan radius 100 meter membuat informasi data pertanahan yang dikelola oleh BPN kerap mengalami beberapa permasalahan, seperti terjadi tumpang tindih pada suatu bidang tanah dengan bidang tanah lainnya, dan berujung pada permasalah yang ditemui oleh PPAT sebagai mitra Kantor Pertanahan dan juga pada masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik.


Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan atau membangun sebuah sistem informasi pertanahan yang menyiapkan basis data pertanahan secara akurat. Seluruh bidang data yang tanah dipetakan dalam suatu sistem koordinat nasional yang terhubung dengan data subyek dengan data yuridis bidang tanah dalam sistem komputerisasi yang lebih handal serta selalu diperbarui serta cukup mudah dalam hal pencarian. Selain sistem informasi, pemerintah juga perlu membangun atau menciptakan sebuah sistem manajemen pertanahan yang yang tidak hanya dapat diakses oleh aparat BPN, namun masyarakat pada umumnya. Kedisiplinan dan integritas dari aparat BPN juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan terhadap pengumpulan data yuridis dan data fisik bidang tanah. Jika memang diperlukan, pemerintah perlu menerapkan sistem double crosscheck untuk setiap data yang diinput agar persentase kesalahan akibat human error dapat ditekan atau diminimalisir. #KuliahKerendiAdministrasiPublikUMSIDAaja #BanggaAPUMSIDA

 

Nama               : Eva Ilifiyah Ikhtiarini

NIM                : 192020100041

Prodi               : Administrasi Publik

Universitas      : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo



[1]Arbiati, Nurul. 2016. Implementasi Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) untuk Mencegah Sertifikat Ganda (Overlapping). Skripsi. Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar.

REALITAS BUDAYA BIROKRASI DI INDONESIA

 Organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi garis terdepan (street level bureaucracy) yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Budaya Birokrasi yang baik di pemerintahan menjadi penting, guna memberikan pelayanan jasa yang prima kepada publik (masyarakat). Menurut Siagian Budaya organisasi (birokrasi) adalah kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Siagian, 1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas Organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.[1]

Pada dasarnya substansi dari pelayanan publik selalu berkitan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun kelompok atau instansi tertentu yang bertujuan memberikan bantuan dan kemudahan pada masyarakat agar tercapainya sebuah tujuan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilakukan oleh pemerintah ataupun non pemerintah. Pelayanan publik sebagai proses kerja dari birokrasi, keterikatan dan pengaruh budaya organisasi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku para anggota organisasi. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu, keberhasilan sebuah organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di dalamnya.

  

Dennis A. Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Waters (1994) menambahkan bahwa kegagalan dari pada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

 

Dari kedua teori di atas muncul pertanyaan mengenai posisi masyarakat Indonesia saat ini tergolong pada budaya masyarakat yang seperti apa. Para ahli cenderung berpendapat bahwa masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki budaya masyarakat egaliter. Oleh karena itu, bentuk pelayanan publik yang cocok ialah pelayanan yang cepat dan terbuka. Menurut Gabriel A. Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja birokrasi yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

Sayangnya, budaya birokrasi pemerintah Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang yang dimulai dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, era penjajahan Belanda dan Jepang, era kemerdekaan hingga paska kemerdekaan masih belum menemukan bentuk yang ideal. Teori yang dikemukakan para ahli berkebalikan dengan realitas lapangan. Indonesia masih jauh dari sosok ideal birokrasi pernah digambarkan oleh Max Weber yang disebutnya dengan bentuk legalrasional yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, rekrutmen yang didasarkan atas kemampuan teknis, diferensiasi antara pendapat resmi dan pribadi. Upaya-upaya pembaharuan manajemen dilakukan secara continue. Tetapi, citra dan kinerja birokrasi Indonesia yang buruk masih kuat di mata masyarakat. Birokrasi lebih banyak berkonotasi dengan citra negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik; berperilaku korup, kolutif, dan nepotisme (KKN); memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan; masih rendahnya profesionalisme; dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.

 

Contoh kasus-kasus yang membuat citra pelayanan publik buruk di mata masyarakat yang baru-baru ini terjadi adalah kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial. Kasus korupsi yang terjadi khususnya di masa pandemi dengan kondisi ekonomi yang nyaris mengalami resesi tentu sangat mengecewakan publik. Contoh lain dalam birokrasi di tingkat lebih rendah yakni pengaruh adat dan budaya lama yang cenderung mengutamakan pihak yang memiliki hubungan kekerabatan, pemuka desa atau orang-orang yang memiliki status sosial lebih tinggi di pelayanan desa. Budaya ‘sungkan’ yang berkembang perlu dilakukan sedikit dimodifikasi. Maksudnya adalah budaya segan atau ‘sungkan’ dimaknai dalam setiap konteks yang berbeda bukan dalam hal pelayanan publik. Jika masih tidak dapat mengesampingkan hubungan kekerabatan, relasi ataupun status sosial yang lebih tinggi dalam memberikan pelayanan publik yang seharusnya berkeadilan maka pelayanan publik di Indonesia akan terus mengalami kebobrokan. Pameo-pameo yang membudaya seperti, ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’, ‘wani piro’, dan lain-lain membuat angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) meningkat. Peningakatan angka korupsi yang dilakukan tidak hanya terjadi di pemerintah pusat tetapi sudah mencapai tingkat terendah. Inilah salah satu bukti bahwa pejabat publik Indonesia tidak memiliki integritas yang baik. Jika pejabat publik tidak berintergritas dan tidak memiliki etika pelayanan yang baik bagaimana bisa memberikan pelayanan yang optimal. Prinsip-prinsip pelayanan publik yang seharusnya dijadikan pilar hanya sekedar bacaan dan hafalan. Budaya seperti inilah yang masih belum bisa dicabut hingga ke akar oleh pemerintah. PR pemerintah saat ini adalah integritas dari apartur/birokrat dan sistem yang efisien dan efektif serta memperkecil ruang gerak terjadinya KKN agar Good Governance bisa diwujudkan. #KuliahKerendiAdministrasiPublikUMSIDAaja #BanggaAPUMSIDA
 
 
Nama               : Eva Ilifiyah Ikhtiarini
NIM                : 192020100041
Prodi               : Administrasi Publik
Universitas      : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

[1] Yusrialis, “BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN ( Keperihatinan Dan Harapan ),” Jurnal Sosial Budaya 9, no. 1 (2012): 1–28.