Rabu, 10 Oktober 2018

[REVIEW] Kisah di Masa Orde Baru : Buku Laut Bercerita




Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal : x + 379 halaman, cetakan pertama, Oktober 2017
ISBN : 978-602-424-694-5




Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.


Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.


Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.


Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

******

« Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali....»

Sebuah sajak sang penyair yang mencuri hati saya saat pertama kali membaca kisah Biru Laut dkk. Kisah diawali dengan sesuatu yang kelam dan menenggalamkan pembaca ke dalam cerita.

«Aku selalu menyangka, pada saat kematian tiba, akan ada gempa atau gunung meletus dan daun-daun gugur. Aku membayangkan dunia mengalami separuh kiamat.»

Laut Bercerita berkisah tentang Biru Laut dkk. yang menuntut perubahan pada masa pemerintahan Orde Baru. Masa dimana Indonesia kehilangan nilai-nilai demokrasi dan pemimpin diktator yang menguasai. Ancaman, siksaan, pengkhianatan, dan kehilangan yang dialami para tokoh dalam buku ini benar-benar mengoyak perasaan. Penggunaan alur campuran yang diterapkan tidak membuat pusing pembaca karena terdapat keterangan tahun dan pengambilan setting yang berbeda-beda. Walaupun setting tempat dari cerita ini sangat beragam, mulai dari kawasan markas Seyegan, Blanggunan, Bungurasih, Pacet, Jakarta dan beberapa tempat lain suasana yang didapat tetap terasa berbeda, pas  dan mendetail.

Dalam buku ini terdapat banyak sekali tokoh. Setiap tokoh selalu memiliki karakteristik kuat dan khas sehingga mudah untuk mengingatnya bahkan saya merasa tokoh-tokoh itu nyata.  Buku ini tidak hanya bicara soal respon terhadap politik. Asmara, keluarga dan persahabatan juga tercakup di dalam Laut Bercerita.

Sejujurnya, progres saya membaca buku ini benar-benar lambat. Bukan karena suatu hal yang mengacu pada konotasi negatif, melainkan saya benar-benar ingin menyelami kisah yang dibisikkan oleh Biru Laut. Ah, ya buku ini dibagi menjadi dua bagian yakni : Biru Laut dan Asmara Jati. Jika Biru Laut yang memulai maka Asmara Jati yang akan mengakhiri. Pada bagian Asmara Jati, saya berderai airmata. Penantian dan harapan yang besar namun tak kunjung membuahkan titik terang. Pada bagian ini saya merasa sangat berat untuk melanjutkan membaca kisah mereka. Namun, saya juga tidak ingin menyerah seperti—Laut. Sepahit apapun itu, saya tetap ingin mengetahui akhirnya. Omong-omong, buku ini sangat minim typo. Saya hanya menemukan satu typo dalam sebuah kalimat dialog yang membuat dialognya agak aneh. Walaupun, demikian minat baca saya pada buku ini tidak berkurang sedikitpun. Membahas mengenai akhir dari kisah Laut Bercerita, jika kebanyakan orang mungkin menyukai akhir yang manis, namun faktanya dalam buku ini saya rasa sangat pas dengan akhir penuh tangis.

Omong-omong kalau bahas buku kurang lengkap kalau tidak membahas tentang quotes atau kutipan-kutipannya. Apalagi kalau bukunya yang memang banyak kalimat-kalimat indah seperti Laut Bercerita salah satunya. Berikut beberapa kutipan dari Buku Laut Bercerita.

****

"Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi."—Laut Bercerita. halaman 2 

"Semakin aku tumbuh dan semakin melahap banyak bacaan perlahan aku menyimpulkan bahwa ada dua hal yang selalu menghantui orang miskin di Indonesia: kemiskinan dan kematian." -Laut Bercerita, halaman 28 

Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk penggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan." -Laut Bercerita, halaman 30 

"Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan." —Laut Bercerita, halaman 256 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar