MAKALAH
ANALISIS EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) DALAM REVITALISASI
PEREKONOMIAN PASCA PANDEMI
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Administrasi Perpajakan
Oleh:
Eva Ilfiyah
Ikhtiarini (192020100041)
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS BISNIS, HUKUM
DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
MEI 2022
KATA PENGANTAR
Segala Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Administrasi
Perpajakan
dengan tepat waktu.
Penulisan
makalah ini bertujuan sebagai penyelesaian untuk memenuhi Ujian
Tengah Semester
dengan judul Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam
Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi.
Dengan itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada dosen penulis, Bapak Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP. Selaku dosen pengampu mata
kuliah Administrasi Perpajakan. Penulis juga berterimakasih kepada para
orangtua, sahabat, teman, dan narasumber yang sudah mendukung dan membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari makalah ini jauh
dari kata sempurna oleh karena itu kami membutuhkan saran dan kritik konstruksif
demi perbaikan makalah ini di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini
bermanfaat dan dapat memenuhi harapan berbagai pihak.
Sidoarjo, 15 Mei 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
2.1. Kebijakan Restitusi Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
2.2. Kebijakan Penurunan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPNBM DTP)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pandemi COVID-19
menjadi salah satu
wabah yang menimbulkan
keresahan paling ekstrim selama
dua tahun terakhir.
Hal ini disebabkan
implikasi yang ditimbulkan menyentuh seluruh elemen, baik ekonomi,
sosial, dan politik, di seluruh dunia (Khanzad & Gooyabadi, 2021),
termasuk di Indonesia.
The World
Trade Organisation (WTO)
bahkan memprediksi tatanan negara
masih akan belum
stabil bahkan volume
perdagangan dunia secara global
akan mengalami penurunan
sekitar 32% pada
tahun 2021-2022. Terlebih, ancaman virus
Corona kembali hadir
dengan varian baru
seperti Omicron, sehingga keseluruhan aktivitas
masyarakat harus dibatasi
sesuai dengan mandat
WHO, WTO dan pemerintah negara(Arrizal &
Sofyantoro, 2020). Indonesia
sendiri mengalami perubahan drastis pada
angka-angka di sektor
pariwisata, perdagangan, kesehatan,
bahkan sektor ekonomi makro
maupunmikro, tidak terkecuali
pada sektor ekonomi
yang paling terpengaruh oleh
COVID-19 adalah sektor rumah tangga(Sugiri, 2020).Tidak ingin mengalami kerugian masif, pemerintah kemudian mengambil langkah dalam percepatan penanganan Covid-19,
salah satunya menerapkankebijakan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kebijakan
PSBB bertujuan agar
masyarakat membatasi seluruh kegiatan di luar dan menekan angka penyebaran Covid-19 secara masif di Indonesia (Rosita
& Freddy, 2022). Bahkan, pembatasan ini juga diterapkan bagi pelaksanaan pendikan, kegiatan ekonomi maupun sektor lainnya yang mengundang kerumunan dan berbahaya bagi masyarakat(Sukmana, H., et.al. (2022)).
Sejak kemunculannya di akhir
tahun 2019, wabah Covid-19 terus menunjukkan
peningkatan di berbagai negara. Kebijakan pembatasan
terhadap ruang gerak publik mau tidak mau terpaksa dilakukan oleh pemerintah
seluruh dunia untuk menghambat penyebaran virus. Namun,
kebijakan ini tentu berdampak
buruk terhadap perekonomian secara global. Organization for Economic
Co-Operation and Development (OECD) memprediksi bahwa dunia akan
mengalami perlambatan ekonomi
hingga menjadi yang terburuk
sejak tahun 2009 (BBC News, 2020).
Pandemi
Covid-19 telah mengakibatkan adanya perlambatan ekonomi bahkan mencapai angka minus. Data dari Badan
Pusat Statistik menunjukkan bahwa komponen perekonomian pada tahun 2020
mengalami kontraksi sehingga
produk domestik bruto cenderung menurun dibandingkan tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga mengalami perlambatan
hingga mencapai -5,32% pada kuartal
kedua tahun 2020.
Kontraksi paling dalam dialami
oleh komponen konsumsi rumah tangga yang
menjadi penopang paling dominan dalam produk
domestik bruto. Secara matematis, produk domestik
bruto (Y) merupakan
penjumlahan dari konsumsi (C),
investasi (I), belanja
pemerintah (G), dan net
ekspor (X-M) (Dumairy,
2006). Dengan demikian,
rendahnya konsumsi rumah
tangga atau melemahnya daya beli
masyarakat akan membawa dampak terhadap perekonomian secara
keseluruhan.(Indahsari
& Fitriandi, 2021)
Dalam
upaya pemulihan perekonomian, maka pemerintah menetapkan kebijakan pembebasan
PPNBM. Beberapa jenis mobil tertentu tidak dikenakan PPN dan PPNBM. Hal ini
bertujuan agar uang yang berberedar lebih banyak dan rantai perekonomian tidak
terputus. Akan tetapi, kebijakan ini dinilai kurang tepat sebab hanya berfokus
pada kalangan menengah ke atas saja dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap revitalisasi perekonomian. Berdasarkan analisis masalah tersebut maka
penulis makalah ini dengan judul “Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam
Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
analisis permasalahan yang dikemukakan diatas maka yang menjadi rumusan masalah
adalah “Bagaimana efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi perekonomian pasca
pandemi?”
1.3.Tujuan
dan Manfaat
1.3.1.
Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi
perekonomian pasca pandemi.
1.3.2.
Manfaat
1.
Secara Akademis diharapkan dapat memberikan manfaat menambah
referensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan, terutama bagi mereka yang
tertarik terhadap permasalahan kebijakan perpajakan untuk meningkatkan ilmu
pemerintahan.
2.
Secara Praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dan langkah-langkah strategis bagi pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kebijakan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Insentif pajak pertambahan nilai
diberikan selama terjadi wabah COVID-19. Terkait PPN, perlakuan insentif
berbeda dengan ketiga jenis pajak sebelumnya. Pembebasan PPN yang diberikan
merupakan kemudahan proses ganti rugi PKP sebagaimana dimaksud dalam PMK 23
2020 selama 6 bulan ke depan terhitung sejak April. Terdapat perbedaan batas
nominal ganti rugi yang diberikan oleh eksportir PKP dan eksportir non-PKP. Tidak ada batasan nominal PPN
untuk PKP sebagai eksportir, kemudian untuk PKP Non Eksportir mendapat
percepatan restitusi hingga sebanyak 5 miliar rupiah. Untuk PKP Eksportir
memperoleh fasilitas yang tak terbatas nilainya dalam hal pengajuan restitusi.
Kondisi tersebut sesuai dengan pelaksanaan tarif PPN yang diberikan oleh
eksportir. Untuk PKP yang menerima manfaat pajak tidak perlu mengajukan
permohonan penetapan PKP berisiko rendah ke dalam KPP terdaftar. Untuk
mendorong dalam pendapatan negara, pemerintah memperkenalkan pajak atau
transaksi digital melalui sistem elektronik (PMSE). Perppu No. 1 Tahun 2020
menginformasikan skema PMSE dalam memungut pajak secara digital berupa Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh. Jika hal tersebut segera diambil, otoritas
pajak segera menyusun aturan untuk membuat payung hukum perpajakan digital
lebih spesifik. Otoritas pajak dan Kementerian Keuangan mempersiapkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar hukum penghitungan PPN untuk PMSE.
Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) juga disiapkan guna mengatur tentang PPh dan
Pajak Transaksi Digital. Aktivitas ini sungguh relevan karena meningkatnya
aktivitas online yang dilakukan oleh entitas ekonomi akibat social distancing dan PSBB. Selama
pandemi, aktivitas menggunakan aplikasi zoom dapat meningkat dan mungkin
dikenai pajak atas aktivitas tersebut. Perdagangan online, yang saat ini tidak
tersedia bagi pemungut cukai, dapat dikontrol atau tunduk pada aturan yang
ketat untuk memenuhi kewajiban penjual tersebut sebagai wajib pajak yang
melakukan bisnis melalui media elektronik(Suwandi,
2022).
2.2. Kebijakan Penurunan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Ditanggung
Pemerintah (PPNBM DTP)
Sejak tanggal 1 Maret 2021, pemerintah mulai
menerapkan
kebijakan PPnBM DTP pada pembelian mobil baru. Dimulainya
program ini
untuk mobil penumpang 1.500cc yang memiliki kandungan lokal tertentu. Skemanya
ialah per tiga bulan diberlakukan perubahan potongan pajak, yakni bulan
Maret-Mei diskon
100 %, bulan Juli-Agustus 50 %, dan bulan Oktober-Desember 25 %. Dikutip
dari siaran pers website Kementerian Perindustrian (KEMENPERIN), implementasi
kebijakan tersebut mengalami perkembangan ke arah yang positif. Pada Maret saat awal
diberlakukan diskon PPnBM ini, sudah ada kenaikan penjualan mobil baru hingga
28,85 persen. Bahkan, pada April 2021, lonjakan penjualan mencapai 227%
dibanding periode yang sama tahun 2020 lalu (year on year/yoy). Merujuk data Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan ritel, secara
akumulatif, Januari–April 2021 naik 5,9 persen yoy menjadi 257.953 unit.
Secara bulanan volume penjualan ritel telah mendekati level normal atau sekitar
80.000 per bulan.
2.3.Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) Dalam Revitalisasi
Perekonomian Pasca Pandemi
Pandemi Covid-19
hampir melumpuhkan seluruh
kegiatan yang ada
di seluruh Indonesia
tak hanya menciptakan krisis
kesehatan masyarakat, pandemi Covid-19 secara nyata juga mengganggu aktivitas
ekonomi nasional. Berbagai perubahan
drastis dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat telah
mengubah interaksi jual-beli di
pasar. Situasi perekonomian Indonesia
saat ini sedang
tidak sehat. Pertumbuhan
ekonomi berdasarkan
perhitungan Year on
Year pada kuartal keempat
tahun 2020 menunjukkan
adanya pelemahan 2,19%. Sebagian
besar sektor mengalami pertumbuhan negatif, seperti perdagangan, reparasi mobil
dan motor, Industri transportasi dan
pergudangan yang mengalami
pertumbuhan terendah(Riningsih,
2021).
Pertumbuhan ekonomi
yang memburuk sepanjang
2020 tak terlepas
dari daya beli
masyarakat yang tergerus selama
pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Daya beli masyarakat
turun terutama karena
berkurangnya penghasilan di
samping karena terbatasnya aktivitas.
Di tengah semua
ketidakpastian, masyarakat terutama
golongan menengah ke
atas mengerem pembelian barang-barang
yang dianggap tidak
pokok. Penghasilan masyarakat
yang menurun karena pandemi
menyebabkan sebagian besar
sektor usaha mengurangi
aktivitasnya atau tutup
total. Angka pengangguran pun
meningkat. Badan Pusat
Statistik dalam Survei
Angkatan Kerja Nasional
Agustus 2020 menunjukkan, Covid-19 berimbas pada
sektor ketenagakerjaan.
Sebanyak 29,12 juta orang
atau 14,28 % dari 203,97 juta orangpenduduk usia kerja terdampak
pandemi. Jumlah pengangguran meningkat sejumlah 2,56 juta orang menjadi 9,77
juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 % menjadi 50,77 juta orang dari
total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal
melonjak 60,47 % menjadi 77,68 juta orang.(Riningsih, 2021).
Dalam
menanggapi rendahnya daya beli masyarakat pemerintah mengambil langkah yakni melalui pemilihan opsi menerapkan kebijakan
fiskal yang ekspansif, salah satunya melalui penurunan tarif pajak. Tujuan
dari kebijakan
ini ialah agar jumlah uang yang beredar bertambah sehingga uang
yang dibelanjakan oleh masyarakat menjadi lebih banyak dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemberian
insentif pajak menjadi salah satu opsi yang dilakukan pemerintah dalam bidang perpajakan. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa, insentif pajak ialah sebagai suatu fasilitas yang
dialokasikan oleh pemerintah
untuk individu atau organisasi tertentu
demi memberikan kemudahan di
bidang perpajakan sehingga mendorong wajib pajak patuh
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah
berharap kebijakan insentif pajak dapat memberikan dorongan terhadap daya beli
masyarakat yang cenderung menurun, mengurangi tekanan terhadap arus kas untuk
aktivitas perusahaan, serta membantu dalam pemenuhan kebutuhan sektor impor
bahan baku produksi.
Dalam
peraturan yang ditetapkan
Maret 2020, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 23/PMK.03/2020 tentang
Insentif Pajak untuk Wajib Pajak
Terdampak Wabah Virus
Corona. PMK ini mengalami
perubahan menjadi PMK Nomor 44/PMK.03/2020, selanjutnya diubah kembali
menjadi PMK Nomor
86/PMK.03/2020, dan terakhir pada
Agustus 2020 pemerintah
menerbitkan PMK Nomor
110/PMK.03/2020. Penerbitan aturan-aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk
memberikan keringanan berupa pengurangan
beban pajak, penurunan tarif, pembebasan pajak,
dan relaksasi pelayanan
perpajakan(Indahsari
& Fitriandi, 2021).
Keseluruhan dari penerimaan pajak
pemerintah Indonesia mengalami penurunan karena adanya keringanan pajak yang
tercermin dari penerimaan pajak tahun 2020 dibandingkan periode sebelumnya.
Dilain pihak, lesunya perdagangan dalam dan luar negeri akibat pelemahan
ekonomi selama pandemi COVID-19 (pandemi global) juga menjadi penyebab turunnya
penerimaan. Efektivitas insentif pajak pada tahun 2020 dapat dilihat dari
adanya kenaikan kembali penerimaan pajak dalam negeri di
tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut :
Gambar 1 Penerimaan Pajak
Dalam Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021
Berdasarkan gambar di atas
memperlihatkan terjadinya peningkatan pendapatan dari pajak selama tahun 2021
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan Pajak Penghasilan meningkat
menjadi sebesar 683.775 Milyar Rupiah atau sebanyak 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai
& Pajak Penjualan atas Barang Mewah meningkat 518.545 atau sebanyak 2.2%,
Pajak Bumi & Bangunan meningkat 14.831 Milyar Rupiah atau sebanyak 10.3%,
Cukai meningkat 180.000 Milyar Rupiah atau sebanyak 4.5%, dan Pajak Lainnya
meningkat 12.431 Milyar Rupiah atau sebanyak 66.1%.
Efektivitas insentif pajak
pada tahun 2020 juga dapat dilihat juga dari adanya kenaikan kembali penerimaan
pajak perdagangan internasional di tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 2 Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021
Grafik di atas menggambarkan
pertumbuhan pendapatan komponen pajak perdagangan internasional tahun 2021
dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pendapatan pemerintah dari bea
masuk meningkat menjadi 33.173 Triliun Rupiah atau 4,2%, dan pajak ekspor
meningkat 4.444, menjadi Rs 1,78 triliun, atau 8,1%. Meski belum bisa dikatakan
bahwa penerimaan pajak pemerintah Indonesia pada tahun 2021 telah normal atau
meningkat dibandingkan tahun 2019, peningkatan penerimaan pajak dalam negeri
dan perdagangan internasional pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020 dipandang
sebagai upaya memerangi dampak virus corona.
Hal ini menjadikan pemerintah
mendukung program pada tahun 2021 untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
mempercepat pemulihan ekonomi negara dengan memperpanjang masa manfaat atau
insentif pajak. Insentif pajak harus diberikan secara selektif sehingga
kriteria kelayakan disesuaikan, dengan memprioritaskan sektor-sektor tertentu
yang tertinggal dan perlu lebih didukung oleh laju pemulihan. Keputusan ini
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak Bagi Wajib Pajak
Yang Terkena Dampak Pandemi Corona 2019. (https://pajak101.com/)(Suwandi,
2022).
3.1.
Kesimpulan
Pandemi Covid-19
memberikan efek domino pada segala
sektor salah satunya ialah perekonomian. Penurunan daya beli masyarakat jika pemerintah
tidak mengambil langkah strategis, maka disinyalir dapat mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi minus bahkan inflasi. Oleh karena itu, pemerintah
menetapkan kebijakan intensif pada bidang perpajakan salah satunya restitusi
pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pejualan atas barang mewah ditanggung
pemerintah (PPNBM DTP). Berdasarkan hasil pembahasan, dampak implementasi
kebijakan perpajakan belum dapat dikatakan efektif dalam revitalisasi
perekonomian pasca pandemic walaupun sudah menunjukkan dampat positif yang
berupa peningkatan penerimaan komponen pajak dalam negeri. Jika dibandingkan
dengan tahun 2020, maka pada tahun 2021 yaitu Pajak
Penghasilan naik 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai dan dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah naik 2.2%, Pajak Bumi dan Bangunan naik 10.3%, Cukai naik 4.5%,
serta Pajak Lainnya naik 66.1%. Selain itu, dampak kebijakan perpajakan juga dapat dinilai dari
peningkatan penerimaan komponen pajak perdagangan internasional penerimaan
negara dari Bea Masuk naik 4.2%, dan Pajak Ekspor naik 8.1%.
3.2.
Kritik dan Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, sebaiknya pemerintah
melakukan evaluasi kebijakan intensif perpajakan jika tetap mempertahankan
kebijakan ini sebagai upaya revitalisasi perekonomian pasca pandemi. Hal ini
dilakukan agar, kebijakan tidak hanya menjadi sebuah kebijakan yang
menguntungkan bagi kalangan tertentu saja. Kebijakan PPNBM tidak perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan penerimaan Negara,
sebaliknya kebijakan restitusi PPN dipertahankan dengan pengawasan dan evaluasi
berkala agar dapat dilaksanakan secara optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Indahsari,
D. N., & Fitriandi, P. (2021). Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Di Masa
Pandemi Covid-19 Terhadap Penerimaan Ppn. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara
(PKN), 3(1), 24–36. https://doi.org/10.31092/jpkn.v3i1.1202
Kebijakan, I., &
Mikro, U. (2022). Implementation of Micro , Small and Medium Enterprises
Policy during the Covid-19 Pandemic in Sidoarjo Menengah di Masa Pandemi
Covid-19 di Sidoarjo. 10(1), 34–41.
https://doi.org/10.21070/jkmp.v10i1.1684
Riningsih, D.
(2021). ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK PPnBM MOBIL TERHADAP PENJUALAN MOBIL
DI ERA PANDEMI COVID-19. Seminar Nasional Manajemen, Ekonomi …, 291–298.
Retrieved from
https://proceeding.unpkediri.ac.id/index.php/senmea/article/view/1150
Suwandi, E. D. (2022). Efektivitas Insentif Pajak Dan Kebijakan Di Bidang Perpajakan Sehubungan Dengan Pandemi Covid-19. Keunis, 10(1), 78. https://doi.org/10.32497/keunis.v10i1.3175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar