Minggu, 15 Mei 2022

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) DALAM REVITALISASI PEREKONOMIAN PASCA PANDEMI

MAKALAH

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM) DALAM REVITALISASI PEREKONOMIAN PASCA PANDEMI


Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Administrasi Perpajakan



 Oleh:

Eva Ilfiyah Ikhtiarini            (192020100041)


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

MEI 2022


KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Administrasi Perpajakan dengan tepat waktu.

Penulisan makalah ini bertujuan sebagai penyelesaian untuk memenuhi Ujian Tengah Semester dengan judul Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi.

Dengan itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penulis, Bapak Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP. Selaku dosen pengampu mata kuliah Administrasi Perpajakan. Penulis juga berterimakasih kepada para orangtua, sahabat, teman, dan narasumber yang sudah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kami membutuhkan saran dan kritik konstruksif demi perbaikan makalah ini di masa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memenuhi harapan berbagai pihak.


Sidoarjo, 15 Mei 2022


Penyusun




BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pandemi  COVID-19  menjadi  salah  satu  wabah  yang  menimbulkan  keresahan  paling ekstrim   selama   dua   tahun   terakhir.   Hal   ini   disebabkan   implikasi   yang   ditimbulkan menyentuh seluruh elemen,  baik ekonomi,  sosial, dan politik, di seluruh dunia (Khanzad  & Gooyabadi,  2021),  termasuk  di  Indonesia.  The  World  Trade  Organisation  (WTO)  bahkan memprediksi  tatanan  negara  masih  akan  belum  stabil  bahkan  volume  perdagangan  dunia secara  global  akan  mengalami  penurunan  sekitar  32%  pada  tahun  2021-2022.  Terlebih, ancaman   virus   Corona   kembali   hadir   dengan   varian   baru   seperti   Omicron,   sehingga keseluruhan  aktivitas  masyarakat  harus  dibatasi  sesuai  dengan  mandat  WHO,  WTO  dan pemerintah  negara(Arrizal  &  Sofyantoro,  2020).  Indonesia  sendiri  mengalami  perubahan drastis  pada  angka-angka  di  sektor  pariwisata,  perdagangan,  kesehatan,  bahkan  sektor ekonomi   makro   maupunmikro,   tidak   terkecuali   pada   sektor   ekonomi   yang   paling terpengaruh oleh COVID-19 adalah sektor rumah tangga(Sugiri, 2020).Tidak ingin mengalami kerugian masif, pemerintah kemudian mengambil langkah dalam percepatan penanganan  Covid-19,  salah  satunya menerapkankebijakan  PSBB  (Pembatasan Sosial Berskala Besar).  Kebijakan  PSBB  bertujuan  agar  masyarakat membatasi seluruh kegiatan di luar dan menekan angka penyebaran Covid-19 secara masif di Indonesia (Rosita &  Freddy,  2022). Bahkan, pembatasan ini juga  diterapkan bagi pelaksanaan pendikan, kegiatan ekonomi maupun sektor lainnya yang mengundang kerumunan dan berbahaya bagi masyarakat(Sukmana, H., et.al. (2022)).

Sejak kemunculannya  di akhir  tahun  2019, wabah  Covid-19 terus  menunjukkan  peningkatan  di berbagai  negara. Kebijakan  pembatasan  terhadap ruang gerak publik mau tidak mau terpaksa dilakukan oleh  pemerintah  seluruh  dunia  untuk menghambat penyebaran virus. Namun, kebijakan ini tentu berdampak   buruk   terhadap   perekonomian   secara global. Organization for Economic  Co-Operation and Development (OECD) memprediksi bahwa dunia akan mengalami  perlambatan   ekonomi  hingga   menjadi yang terburuk sejak tahun 2009 (BBC News, 2020).

            Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan adanya perlambatan ekonomi   bahkan mencapai angka minus. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa komponen perekonomian pada tahun  2020  mengalami  kontraksi  sehingga  produk domestik bruto cenderung menurun dibandingkan tahun 2019. Pertumbuhan  ekonomi  Indonesia  juga mengalami   perlambatan   hingga   mencapai -5,32% pada  kuartal  kedua  tahun  2020.  Kontraksi  paling dalam dialami oleh komponen   konsumsi   rumah tangga   yang   menjadi   penopang paling   dominan dalam  produk  domestik  bruto. Secara  matematis, produk  domestik  bruto  (Y)  merupakan  penjumlahan dari  konsumsi  (C),  investasi  (I),  belanja  pemerintah (G),  dan  net  ekspor  (X-M)  (Dumairy,  2006). Dengan demikian,  rendahnya  konsumsi  rumah  tangga atau melemahnya  daya  beli  masyarakat  akan  membawa dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan.(Indahsari & Fitriandi, 2021)

            Dalam upaya pemulihan perekonomian, maka pemerintah menetapkan kebijakan pembebasan PPNBM. Beberapa jenis mobil tertentu tidak dikenakan PPN dan PPNBM. Hal ini bertujuan agar uang yang berberedar lebih banyak dan rantai perekonomian tidak terputus. Akan tetapi, kebijakan ini dinilai kurang tepat sebab hanya berfokus pada kalangan menengah ke atas saja dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap revitalisasi perekonomian. Berdasarkan analisis masalah tersebut maka penulis makalah ini dengan judul “Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi”.


1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan analisis permasalahan yang dikemukakan diatas maka yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemi?”


1.3.Tujuan dan Manfaat

1.3.1.      Tujuan

         Untuk mengetahui efektivitas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemi.

1.3.2.      Manfaat

1.   Secara Akademis diharapkan dapat memberikan manfaat menambah referensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan, terutama bagi mereka yang tertarik terhadap permasalahan kebijakan perpajakan untuk meningkatkan ilmu pemerintahan.

2.   Secara Praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan langkah-langkah strategis bagi pemerintah.    



BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kebijakan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Insentif pajak pertambahan nilai diberikan selama terjadi wabah COVID-19. Terkait PPN, perlakuan insentif berbeda dengan ketiga jenis pajak sebelumnya. Pembebasan PPN yang diberikan merupakan kemudahan proses ganti rugi PKP sebagaimana dimaksud dalam PMK 23 2020 selama 6 bulan ke depan terhitung sejak April. Terdapat perbedaan batas nominal ganti rugi yang diberikan oleh eksportir PKP dan eksportir non-PKP. Tidak ada batasan nominal PPN untuk PKP sebagai eksportir, kemudian untuk PKP Non Eksportir mendapat percepatan restitusi hingga sebanyak 5 miliar rupiah. Untuk PKP Eksportir memperoleh fasilitas yang tak terbatas nilainya dalam hal pengajuan restitusi. Kondisi tersebut sesuai dengan pelaksanaan tarif PPN yang diberikan oleh eksportir. Untuk PKP yang menerima manfaat pajak tidak perlu mengajukan permohonan penetapan PKP berisiko rendah ke dalam KPP terdaftar. Untuk mendorong dalam pendapatan negara, pemerintah memperkenalkan pajak atau transaksi digital melalui sistem elektronik (PMSE). Perppu No. 1 Tahun 2020 menginformasikan skema PMSE dalam memungut pajak secara digital berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh. Jika hal tersebut segera diambil, otoritas pajak segera menyusun aturan untuk membuat payung hukum perpajakan digital lebih spesifik. Otoritas pajak dan Kementerian Keuangan mempersiapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar hukum penghitungan PPN untuk PMSE. Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) juga disiapkan guna mengatur tentang PPh dan Pajak Transaksi Digital. Aktivitas ini sungguh relevan karena meningkatnya aktivitas online yang dilakukan oleh entitas ekonomi akibat social distancing dan PSBB. Selama pandemi, aktivitas menggunakan aplikasi zoom dapat meningkat dan mungkin dikenai pajak atas aktivitas tersebut. Perdagangan online, yang saat ini tidak tersedia bagi pemungut cukai, dapat dikontrol atau tunduk pada aturan yang ketat untuk memenuhi kewajiban penjual tersebut sebagai wajib pajak yang melakukan bisnis melalui media elektronik(Suwandi, 2022).

2.2. Kebijakan Penurunan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPNBM DTP)

Sejak tanggal 1 Maret 2021, pemerintah mulai menerapkan kebijakan PPnBM DTP pada pembelian mobil baru. Dimulainya program ini untuk mobil penumpang 1.500cc yang memiliki kandungan lokal tertentu. Skemanya ialah per tiga bulan diberlakukan perubahan potongan pajak, yakni bulan Maret-Mei diskon 100 %, bulan Juli-Agustus 50 %, dan bulan Oktober-Desember 25 %. Dikutip dari siaran pers website Kementerian Perindustrian (KEMENPERIN), implementasi kebijakan tersebut mengalami perkembangan ke arah yang positif. Pada Maret saat awal diberlakukan diskon PPnBM ini, sudah ada kenaikan penjualan mobil baru hingga 28,85 persen. Bahkan, pada April 2021, lonjakan penjualan mencapai 227% dibanding periode yang sama tahun 2020 lalu (year on year/yoy). Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan ritel, secara akumulatif, Januari–April 2021 naik 5,9 persen yoy menjadi 257.953 unit. Secara bulanan volume penjualan ritel telah mendekati level normal atau sekitar 80.000 per bulan. 


2.3.Analisis Efektivitas Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM) Dalam Revitalisasi Perekonomian Pasca Pandemi

Pandemi  Covid-19  hampir  melumpuhkan  seluruh  kegiatan  yang  ada  di  seluruh  Indonesia  tak  hanya menciptakan krisis kesehatan masyarakat, pandemi Covid-19 secara nyata juga mengganggu aktivitas ekonomi nasional.  Berbagai  perubahan  drastis  dalam  kehidupan  sosial ekonomi masyarakat  telah  mengubah  interaksi jual-beli   di   pasar.   Situasi   perekonomian   Indonesia   saat   ini   sedang   tidak   sehat.   Pertumbuhan   ekonomi berdasarkan  perhitungan  Year  on  Year pada  kuartal  keempat  tahun  2020  menunjukkan  adanya  pelemahan 2,19%. Sebagian besar sektor mengalami pertumbuhan negatif, seperti perdagangan, reparasi mobil dan motor, Industri  transportasi  dan  pergudangan  yang  mengalami  pertumbuhan  terendah(Riningsih, 2021).

Pertumbuhan  ekonomi  yang  memburuk  sepanjang  2020  tak  terlepas  dari  daya  beli  masyarakat  yang tergerus selama pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Daya   beli   masyarakat   turun   terutama   karena   berkurangnya   penghasilan   di   samping   karena terbatasnya  aktivitas.  Di  tengah  semua  ketidakpastian,  masyarakat  terutama  golongan  menengah  ke  atas mengerem  pembelian  barang-barang  yang  dianggap  tidak  pokok.  Penghasilan  masyarakat  yang  menurun karena  pandemi  menyebabkan  sebagian  besar  sektor  usaha  mengurangi  aktivitasnya  atau  tutup  total.  Angka pengangguran  pun  meningkat.  Badan  Pusat  Statistik  dalam  Survei  Angkatan  Kerja  Nasional  Agustus  2020 menunjukkan,  Covid-19 berimbas  pada  sektor ketenagakerjaan.  Sebanyak  29,12  juta orang  atau 14,28 % dari 203,97 juta orangpenduduk usia kerja terdampak pandemi. Jumlah pengangguran meningkat sejumlah 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 % menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 % menjadi 77,68 juta orang.(Riningsih, 2021).

Dalam menanggapi rendahnya daya beli masyarakat pemerintah mengambil langkah yakni melalui pemilihan  opsi menerapkan  kebijakan  fiskal  yang  ekspansif, salah satunya melalui penurunan tarif pajak. Tujuan dari kebijakan ini ialah agar jumlah uang yang beredar bertambah sehingga uang yang dibelanjakan oleh masyarakat menjadi lebih banyak dan merangsang  pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemberian insentif pajak menjadi salah satu opsi yang dilakukan pemerintah dalam bidang perpajakan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, insentif pajak ialah sebagai suatu fasilitas  yang  dialokasikan  oleh  pemerintah  untuk individu  atau  organisasi  tertentu  demi  memberikan kemudahan di bidang perpajakan sehingga mendorong wajib pajak     patuh     melaksanakan kewajiban   perpajakannya. Pemerintah berharap kebijakan insentif pajak dapat memberikan dorongan terhadap daya beli masyarakat yang cenderung menurun, mengurangi tekanan terhadap arus kas untuk aktivitas perusahaan, serta membantu dalam pemenuhan kebutuhan sektor impor bahan baku produksi.

 Dalam   peraturan   yang   ditetapkan   Maret 2020, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak  Terdampak  Wabah  Virus  Corona. PMK  ini mengalami perubahan menjadi PMK Nomor 44/PMK.03/2020, selanjutnya diubah kembali menjadi  PMK  Nomor  86/PMK.03/2020,  dan  terakhir pada  Agustus  2020  pemerintah  menerbitkan  PMK Nomor 110/PMK.03/2020. Penerbitan aturan-aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan keringanan berupa pengurangan    beban    pajak, penurunan  tarif, pembebasan  pajak,  dan  relaksasi pelayanan perpajakan(Indahsari & Fitriandi, 2021).

Keseluruhan dari penerimaan pajak pemerintah Indonesia mengalami penurunan karena adanya keringanan pajak yang tercermin dari penerimaan pajak tahun 2020 dibandingkan periode sebelumnya. Dilain pihak, lesunya perdagangan dalam dan luar negeri akibat pelemahan ekonomi selama pandemi COVID-19 (pandemi global) juga menjadi penyebab turunnya penerimaan. Efektivitas insentif pajak pada tahun 2020 dapat dilihat dari adanya kenaikan kembali penerimaan pajak dalam negeri di tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut :


Gambar 1 Penerimaan Pajak Dalam Negeri Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021


Berdasarkan gambar di atas memperlihatkan terjadinya peningkatan pendapatan dari pajak selama tahun 2021 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan Pajak Penghasilan meningkat menjadi sebesar 683.775 Milyar Rupiah atau sebanyak 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah meningkat 518.545 atau sebanyak 2.2%, Pajak Bumi & Bangunan meningkat 14.831 Milyar Rupiah atau sebanyak 10.3%, Cukai meningkat 180.000 Milyar Rupiah atau sebanyak 4.5%, dan Pajak Lainnya meningkat 12.431 Milyar Rupiah atau sebanyak 66.1%.

Efektivitas insentif pajak pada tahun 2020 juga dapat dilihat juga dari adanya kenaikan kembali penerimaan pajak perdagangan internasional di tahun 2021 yang disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 2 Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional Pemerintah Indonesia Tahun 2019-2021

Grafik di atas menggambarkan pertumbuhan pendapatan komponen pajak perdagangan internasional tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pendapatan pemerintah dari bea masuk meningkat menjadi 33.173 Triliun Rupiah atau 4,2%, dan pajak ekspor meningkat 4.444, menjadi Rs 1,78 triliun, atau 8,1%. Meski belum bisa dikatakan bahwa penerimaan pajak pemerintah Indonesia pada tahun 2021 telah normal atau meningkat dibandingkan tahun 2019, peningkatan penerimaan pajak dalam negeri dan perdagangan internasional pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020 dipandang sebagai upaya memerangi dampak virus corona.

Hal ini menjadikan pemerintah mendukung program pada tahun 2021 untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi negara dengan memperpanjang masa manfaat atau insentif pajak. Insentif pajak harus diberikan secara selektif sehingga kriteria kelayakan disesuaikan, dengan memprioritaskan sektor-sektor tertentu yang tertinggal dan perlu lebih didukung oleh laju pemulihan. Keputusan ini berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Terkena Dampak Pandemi Corona 2019. (https://pajak101.com/)(Suwandi, 2022).



3.1. Kesimpulan

Pandemi Covid-19 memberikan efek domino pada  segala sektor salah satunya ialah perekonomian. Penurunan daya beli masyarakat jika pemerintah tidak mengambil langkah strategis, maka disinyalir dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi minus bahkan inflasi. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan kebijakan intensif pada bidang perpajakan salah satunya restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pejualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPNBM DTP). Berdasarkan hasil pembahasan, dampak implementasi kebijakan perpajakan belum dapat dikatakan efektif dalam revitalisasi perekonomian pasca pandemic walaupun sudah menunjukkan dampat positif yang berupa peningkatan penerimaan komponen pajak dalam negeri. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, maka pada tahun 2021 yaitu Pajak Penghasilan naik 2.0%, Pajak Pertambahan Nilai dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah naik 2.2%, Pajak Bumi dan Bangunan naik 10.3%, Cukai naik 4.5%, serta Pajak Lainnya naik 66.1%. Selain itu, dampak kebijakan perpajakan juga dapat dinilai dari peningkatan penerimaan komponen pajak perdagangan internasional penerimaan negara dari Bea Masuk naik 4.2%, dan Pajak Ekspor naik 8.1%.


3.2. Kritik dan Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi  kebijakan  intensif perpajakan jika tetap mempertahankan kebijakan ini sebagai upaya revitalisasi perekonomian pasca pandemi. Hal ini dilakukan agar, kebijakan tidak hanya menjadi sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi kalangan tertentu saja.  Kebijakan PPNBM tidak perlu dilakukan  untuk mengurangi tekanan penerimaan Negara, sebaliknya kebijakan restitusi PPN  dipertahankan dengan pengawasan dan evaluasi berkala agar dapat dilaksanakan secara optimal.



DAFTAR PUSTAKA

Indahsari, D. N., & Fitriandi, P. (2021). Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Di Masa Pandemi Covid-19 Terhadap Penerimaan Ppn. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 3(1), 24–36. https://doi.org/10.31092/jpkn.v3i1.1202

Kebijakan, I., & Mikro, U. (2022). Implementation of Micro , Small and Medium Enterprises Policy during the Covid-19 Pandemic in Sidoarjo Menengah di Masa Pandemi Covid-19 di Sidoarjo. 10(1), 34–41. https://doi.org/10.21070/jkmp.v10i1.1684

Riningsih, D. (2021). ANALISIS KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK PPnBM MOBIL TERHADAP PENJUALAN MOBIL DI ERA PANDEMI COVID-19. Seminar Nasional Manajemen, Ekonomi …, 291–298. Retrieved from https://proceeding.unpkediri.ac.id/index.php/senmea/article/view/1150

Suwandi, E. D. (2022). Efektivitas Insentif Pajak Dan Kebijakan Di Bidang Perpajakan Sehubungan Dengan Pandemi Covid-19. Keunis, 10(1), 78. https://doi.org/10.32497/keunis.v10i1.3175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar