Kamis, 19 Mei 2022

ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA BIROKRASI SATRIYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS IMPLEMENTASI BUDAYA BIROKRASI SATRIYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

 

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Manajemen Strategi



 Oleh:

Eva Ilfiyah Ikhtiarini            (192020100041)

 

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

MEI 2022


 

PENDAHULUAN

Birokrasi bagi sebagian orang di Indonesia merupakan sebuah prosedur yang berbelit-belit, dari satu meja ke meja lain yang mengakibatkan biaya semakin mahal. Banyak hal yang menjadi masalah dalam birokrasi yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak optimal sehingga perlu dilakukan evaluasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance ). Reformasi birokrasi di Indonesia diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.

Reformasi birokrasi menjadi harapan bagi masyarakat agar perubahan yang lebih baik dapat dilaksanakan di tengah krisis multi dimensional yang tengah terjadi. Namun, faktanya harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan seperti birokrasi yang diterapkan di Negara maju tampaknya masih belum mampu diwujudkan. Hal ini dikarenakan kinerja birokrat masih rendah. Beberapa faktor yang menjadi variabel dalam rendahnya penilaian terhadap kinerja birokrat salah satunya ialah kompetensi yang dimiliki. Untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang tepat melalui pengembangan kompetensi. Dimensi pengembangan kompetensi untuk peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai kreativitas, dan inovasi adalah melalui pendidikan, pelatihan, dan belajar dari pengalaman. Ada tiga jenjang peningkatan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan. Asrori (2014) menjelaskan tiga jenjang itu adalah sistem/kebijakan, entitas/organisasi, dan individu. Melalui sebuah sistem yang dibuat, pemerintah daerah dapat menyusun kerangka kebijakan dan peraturan yang mendukung dan membatasi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan. Kedua melalui tingkatan organisasi. Pemerintah daerah dapat menyusun struktur kelembagaan, proses-proses pengambilan keputusannya, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, relasi-relasi dan jaringan antar-lembaga. Jenjang individu dapat dilakukan melalui pelatihan keterampilan administrasi dan pelayanan, penanaman nilai-nilai etika dan motivasi belajar dan bekerja, sikap, kualifikasi pendidikan, dan pengetahuan.(Abadi, Rodiyah, & Sukmana, 2020).

Pengembangan kompetensi birokrat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja birokrat dan budaya birokrasi. Idealnya, dalam sebuah organisasi memiliki nilai-nilai budaya kerja yang baik dan mendukung tercapainya tujuan secara optimal. Nilai-nilai budaya kerja adalah keyakinan dasar yang menjadi pola perilaku dan pola untuk mengatur perilaku dalam organisasi dan bekerja. Nilai budaya kerja ini penting karena dapat digunakan untuk mempelajari perilaku “yang seharusnya” dan “yang tidak seharusnya” organisasi sebagai pondasi dalam memahami sikap dan motivasi. Nilai-nilai budaya kerja itu dapat berupa nilai-nilai sosial, demokratik, birokratik, professional, dan ekonomik (Pattipawae, 2011:34).

Pemerintah Daerah DYI menyadari urgensi reformasi birokrasi melalui pengembangan kompetensi dan budaya kerja birokrat untuk mewujudkan good governance. Oleh karena itu, reformasi birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta telah dimulai sejak Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan Pangreh Praja menjadi Pamong Praja, sebagai titik awal landasan perubahan filosofis pemerintahan dari pola penguasa menjadi pelayan, pengayom masyarakat. Upaya reformasi semakin kuat bergulir sejak diberlakukannya otonomi daerah, ditandai dengan kerjasama dengan Kemitraan (Partnership) bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia untuk menyelenggarakan Reformasi Terpadu Pelayanan Publik (Integrated Civil Service Reform - ICSR). Sejalan dengan pemerintah pusat, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki budaya pemerintahan sendiri. Budaya pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan budaya pemerintahan SATRIYA.

SATRIYA merupakan budaya organisasi Pemerintah Daerah DIY yang diambil dari nilai-nilai filosofi jawa Hamemayu Hayuning Bawana memiliki tujuan yaitu melanjutkan dan meningkatkan reformasi birokrasi tahun 1946 melalui Maklumat Nomor 10 Tahun 1946 tentang Perubahan Pangreh Praja menjadi Pamong Projo, yang berarti terdapat perubahan birokrasi sebagai penguasa (pangreh) menjadi birokrasi sebagai pelayan (pamong). Perubahan paradigma tersebut menekankan pada kewajiban pemerintah sebagai pemberi pelayanan.(MURSITO, 2018)

 

PEMBAHASAN

Birokrasi menurut Max Weber (1979) birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu system otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan. Birokrasi memerlukan perubahan sesuai dengan kondisi yang dihadapi agar dapat lebih baik lagi. Inilah yang disebut dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi atau yang lebih dikenal sebagai reformasi administrasi negara adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi, sikap dan perilaku birokrat guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi negara yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional (Zauhar, 2007:11). Reformasi birokrasi dilakukan untuk mewujudkan good governance salah satu langkah strategisnya ialah mengubah budaya organisasi untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi.

Budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang telah diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan dalam proses memecahkan masalah dan mengambil keputusan ketika beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan mengelola integrasi internal organisasi. Pola ini telah berhasil cukup baik sehingga dapat dipandang sahih (valid). Itu sebabnya, budaya ini diajarkan kepada anggota baru sebagai cara berpikir, memandang, merasakan, dan berperilaku dalam kaitannya dengan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi.(Nurhadi & Suryaningsih, 2020)

Budaya pemerintahan SATRIYA yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 mengatur tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah merupakan suatu bentuk komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya dalam mencapai keberhasilan transformasi birokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni filosofis hamemayu hayuning bawana dan ajaran moral yakni sawiji, greget, sengguh ra mingkuh serta dengan semangat golong gilig. Dikutip dari website resmi Sekretariat Daerah Kulon Progo, berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan singkatan dari Selaras, Akal budi luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli Profesional.

Berdasarkan maknanya, SATRIYA sendiri memiliki dua arti. Pertama, SATRIYA dimaknakan sebagai watak ksatria. Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati, dan bertanggung jawab). Semangat dimaksud adalah golong gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. Makna kedua, SATRIYA sebagai singkatan dari : Selaras, Akal budi Luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, inovatif, Yakin dan percaya diri, dan Ahli-profesional. Budaya "SATRIYA" merupakan sebuah wujud manifestasi kearifan budaya lokal ke dalam budaya pemerintahan dengan cara diinternalisasikan ke dalam diri aparatur negara. Tujuan dari lahirnya Budaya SATRIYA adalah untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas aparatur negara melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam SATRIYA itu sendiri. Sehingga, akan terjadi perubahan mindset (pola pikir) dan cultureset (budaya kerja) pada jajaran birokrasi yang ada. Bila proses internalisasi budaya SATRIYA menjadi budaya pribadi bisa berhasil, maka aparatur birokrasi akan merasa identik dan menyatu sehingga dapat mencapai kinerja yang optimal. Gambaran kondisi birokrasi seperti inilah yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui budaya pemerintahan (organisasi) yang kuat(Nurhadi & Suryaningsih, 2020).

Reformasi birokrasi yang diterapkan di DIY dipengaruhi oleh budaya politik keraton. Reformasi birokrasi yang berbasiskan pada momentum Keistimewaan dan nilai-nilai   kearifan   lokal   yang   ada   di   Daerah   Istimewa Yogyakarta. Road Map Reformasi Birokrasi   Pemerintahan   Daerah Istimewa Yogyakarta didesain dengan momentum Keistimewaan.  Dengan  melakukan  penataan  dan  mekanisme tata    kerja    pemerintahan    berbasis    keistimewaan    Daerah Istimewa   Yogyakarta,   ditandai dengan   telah   disahkannya Undang-Undang Nomor  13  Tahun 2012  tentang  Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta(Studi & Surabaya, 2015).

Implementasi budaya SATRIYA pada ASN di DIY dilakukan sebagai berikut :

1.      Internalisasi dan Sosialisasi Budaya SATRIYA

Sosialisasi dilakukan oleh tim implementasi budaya SATRIYA sebagai pelaksana dengan cara memberikan rapat di awal periode kepada perwakilan setiap instansi yang termasuk kedalam Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada para perwakilan instansi mengenai budaya SATRIYA. Adapun perwakilan dari masing-masing instansi kemudian memberikan hasil rapat kepada kepala instansi untuk kemudian dilakukan internalisasi budaya SATRIYA kepada para ASN yang ada di instansi masing-masing. Terdapat juga sosialisasi bentuk lain yakni dengan mewujudkan budaya SATRIYA kedalam bentuk media yang dapat dilihat misal spanduk, stiker, dan terdapat pula wajib pemakaian pin SATRIYA di baju kerja terhadap para ASN.

2.      Tanggung Jawab Kepala Instansi atas Pelaksanaan Internalisasi Nilai Budaya Pemerintahan;

Telah disebutkan bahwa masing-masing kepala instansi wajib melakukan internalisasi nilai-nilai budaya SATRIYA kepada seluruh ASN yang ada di instansinya. Adapun internalisasi yang dilakukan oleh kepala instansi salah satunya adalah dengan cara mengingatkan kembali perihal buday SATRIYA kepada ASN pada saat apel pagi setiap hari senin. Kepala instansi telah dengan baik melaksanakan tugas menginternalisasikan budaya SATRIYA kepada ASN yang ada di instansinya. Tanggungjawab kepala instansi telah dilakukan dengan baik atas pelaksanaan internalisasi nilai budaya pemerintahan SATRIYA. Namun permasalahan yang ada di lapangan adalah ditemukannya ASN yang tidak mematuhi budaya SATRIYA seperti membolos pada saat jam kerja. Di sisi lain, pemberian sanksi juga belum dapat diberikan dengan semestinya lantaran adanya rasa sungkan diantara para ASN.

3.      Sosialisasi Nilai Budaya Pemerintahan dilaksanakan oleh Instansi yang membidangi Pendayagunaan Aparatur;

Instansi Biro Organisasi Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta telah melaksanakan tugas sosialisasi sesuai yang disebutkan dalam kebijakan. Adapun permasalahan yang ditemukan di lapangan dalam proses sosialisasi adalah kendala teknis dimana pelaksanaan rapat yang susah menentukan waktu karena di Biro Organisasi sendiri juga harus menangani banyak urusan selain implementasi budaya SATRIYA. Permasalahan yang ditemukan adalah terkait hal yang bersifat teknis.

4.      Monitoring dan Evaluasi Budaya SATRIYA;

Monitoring lebih menitikberatkan pelaksanaan budaya SATRIYA oleh ASN di lapangan. Monitoring dilakukan oleh masing-masing kepala instansi. Hasil dari monitoring kemudian dikirimkan ke Biro Organisasi sebagai bahan untuk evaluasi dan pelaksanaan kebijakan budaya SATRIYA di tahun berikutnya. Evaluasi dilakukan dengan melihat hasil dari monitoring yang sudah ada.(Nurhadi & Suryaningsih, 2020)

 

KESIMPULAN

Budaya Birokrasi merupakan sebuah nilai-nilai penting yang harus dipegang teguh dan dijalankan agar dapat mengoptimalkan kinerja untuk tercapainya good governance. Setiap instansi memiliki ciri khas budaya birokrasi yang berakar dari budaya daerah setempat. Budaya Pemerintahan SATRIYA di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah merupakan suatu bentuk komitmen dari Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya dalam mencapai keberhasilan transformasi birokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni filosofis hamemayu hayuning bawana dan ajaran moral yakni sawiji, greget, sengguh ra mingkuh serta dengan semangat golong gilig. Pada dasarnya, setiap kebijakan tidak ada yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya diterapkan. Dalam implementasinya budaya SATRIYA telah dilakukan dengan baik, ASN memiliki kompetensi dan kapabilitas sehingga dapat mewujudkan kinerja yang optimal. Akan tetapi masih perlu dilakukan evaluasi dan pembaharuan berulang. Tingkat kepatuhan yang tinggi dan respon yang baik dalam implementasi budaya SATRIYA sudah sepantasnya agar budaya birokrasi ini dipertahankan. Monitoring ketat dan pemberian sanksi yang tegas sebaiknya dilakukan untuk meminimalisir angka pelanggaran.       

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, T. W., Rodiyah, I., & Sukmana, H. (2020). the Competence and Performance of Village Apparatus in Sidoarjo Regency. JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik), 8(2), 60–72. https://doi.org/10.21070/jkmp.v8i2.1151

MURSITO, B. (2018). Evaluasi Implementasi Budaya Pemerintahan Satriya Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Di Dinas Sosial Diy Dan Uptd). Retrieved from http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/166302

Nurhadi, I. M., & Suryaningsih, M. (2020). Implementasi Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Budaya Pemerintahan “Satriya” di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Journal Of Public Policy And Management Review, 9(2), 1–16.

Studi, P., & Surabaya, P. (2015). REFORMASI BIROKRASI IMPLIKASI BUDAYA POLITIK KERATON Riski Williyanto. 05, 195–212.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar